Wednesday, December 30, 2015

BERCERMIN DI PAGI HARI

Aku kembali menghitung hari
Sama seperti kemarin
dan pagi-pagi sebelum ini
Di depan cermin
dengan fotomu di sampingnya
Agar selalu bisa kusandingkan
Wajah pertamaku setiap hari
dengan senyummu yang selalu memuji
Dan aku akan tersanjung
Karena bahkan dengan nafas yang masih bau
dan tahimata yang masih menempel
serta rambut kusut seperti singa
Engkau tetap tersenyum di sampingku
di samping bayanganku dalam cermin

Aku kembali menghitung hari
Sama seperti kemarin pagi
Sekarang tinggal separuh jalan lagi
Senyummu yang selalu memuji
akan hadir di sampingku
bersama di dalam cermin
Setiap pagi

Kuabaikan dulu senyummu
Kini kutelusuri wajahku
Aih...
Ternyata kerut halus sudah tampak di sudut mata
bintik-bintik hitam di bawahnya

Tapi foto wajahmu tetap tersenyum
Bahkan ketika jidatku mengernyit
seperti puisi yang baru separuh jadi

#NulisBarengAlumni

Saturday, June 20, 2015

SEE YOU

Saya sudah tidak tahu apa yang akan saya tulis kali ini. Sudahlah, tolong mengerti kondisi rongga dada perempuan yang sudah biru-biru digebuki rindu. Mengertilah kondisi perut seorang aerophibia yang sedanh menunggu boarding.

Saya di Bandara Taoyuan. Masih sepi, hanya ada beberapa kawan sesama orang Indonesia yang juga datang kepagian.

See you.

#NulisRandom2015
#day20

※2 hari absen※

Wednesday, June 17, 2015

TOMBOL DAN ASURANSI

Tadi siang saya naik MRT 611 dari Xinhai st. bus stop ke Wuxing st. bus stop. Di dalam bus itu saya melihat sebuah tombol merah yang dikurung kotak mika menempel di dekat pintu bus. Ada banyak tombol serupa di dalam bus ini. Tak sempat saya hitung, tapi sepertinya sekitar 6 atau 7 tombol. Oh ya, tidak semua bus ada tombol seperti ini. Di MRT 256 yang saya naiki kemudian, tidak ada.

Ini adalah tombol  sexual harassment dan pick pocket alarm.

Melihat tombol ini, saya merasa aman dan terlindungi. Saya tenang dan senang, sekaligus aware pada saat yang sama. Ini adalah tombol yang saya sangat inginkan ada di setiap layanan transportasi umum, sekaligus sama sekali tidak saya harapkan akan terpaksa dipencet seseorang.

Tombol ini bagi saya seperti asuransi. Sangat penting ada, namun kalau bisa, jangan sampai terpakai. Lha iya ... Kalau asuransi itu kan begitu. Penting sekali untuk dimiliki. Berbahagialah bila tak terpakai, karena itu berarti kita sehat senantiasa. Namun bila sesuatu terjadi, sudah ada yang melindungi.

#NulisRandom2015
#day17

Tuesday, June 16, 2015

TEGE KATUK, ITU SAJA

Sejak tiga tahun di Taiwan, saya tidak pernah makan daun katuk. Bukan tak ada, melainkan karena saya tidak menemukannya. Pasti ada. Pasti. Di suatu tempat pasti ada.

Sayuran yang lain, yang belum pernah saya makan selama di Indonesia, mellimpah ruah. Ada yang saya suka sekali, macam Kailan Cai, ada pula yang saya tidak doyan, macam ... eee ... Apa itu namanya, lupa. Ah, pokoknya tidak doyan.

Mendekati saat-saat pulang, saya yang tidak begitu suka exploring makanan, jadi merindukan daun katuk. Saya ingin mencium langu manisnya, mencecap getir segarnya. Daun katuk bukan makanan istimewa, namun saya, dengan sentimentilnya, jatuh rindu sejadi-jadinya.

Memasak daun katuk juga tidak bisa berupa-rupa. Yang saya kenal selama ini adalah hanya dengan di-”tege” saja. Sayur bening bumbu kencur dan bawang. Pada kakak yang di rumahnya saya akan pertama singgah, saya sudah memesan untuk berbuka puasa dengan tege katuk.

Rindu itu memang tidak macam-macam. Cukup tege katuk. Itu saja.

#NulisRandon2015
#day16

Image: Google search.

Monday, June 15, 2015

CASABLANCA

Saya mengaku bahwa hari ini semangat menulis saya tiarap, dan selera membaca saya nyungsep. Tapi saya masih ingin menyelesaikan apa yang saya mulai.

Saya ingin menulis ini saja, emm ... Tentang jalan Dr. Satrio di Jakarta. Jalan yang memanjang dari Kampung Melayu sampai Karet. Yang membelah kuburan. Yang juga disebut jalan Casablanca.

Konon ini adalah jalan persahabatan antara Indonesia dan Maroko. Keduanya saling memberi nama jalan besarnya dengan nama kota dari masing-masing negara. Jadi di Indonesia ada nama Jalan Casablanca, di Maroko ada nama Jalan Jakarta.

Satu lagi cerita saya dengar dari orang Jakarta yang sudah lebih lama hidup dari saya ^_^ (halo, Babeh) bahwa nama jalan itu adalah akronim dari daerah lintasannya. Yaitu Kampung-Melayu-sampai-belakang-Karet (Kasablangka) dengan tulisan keren: Casablanca.

Sudah. Itu saja.

#NulisRandom2015
#day15

Image: picking randomly from my album ^_^

Sunday, June 14, 2015

KAPITALISASI HALAL

Sudah sangat sering saya melihat label halal, baik yang keluar dari MUI maupun yang pura-pura MUI, dikapitalisasi. Ditempelkan pada sebuah produk makanan untuk membuat orang membelinya bukan semata karena untuk ketenangan konsumsi, melainkan juga untuk gengsi.
Produsen juga ada kalanya mengejar sertifikasi ini bukan semata-mata karena ingin menjual makanan halal bagi muslim, melainkan juga karena bisa menjual lebih mahal dengan label halal.

Ini makanan manusia, lho ya, yang saya maksud.

Hari ini saya melihat di twitter, ada makanan kucing halal. Kucing? KUCING?
Perlukah kucing makan pakan halal? Halal gimana nih?

Ah, sudahlah ...
Mungkin dia kucing mualaf. Atau yang punya kucing hobi nyemilin pakan kucingnya, jadi perlu jaminan kehalalan. Entahlah ...

Oh, atau dengan pakan itu, kucingnya jadi halal dimakan, gitu? Hihihi ...

Lalu bagaimana dengan ayam yang nuthuli cacing tanah, atau bahkan (maaf) eek bayi tetangga? Atau bebek yang nyosori bekicot, lele yang ngrubuti ayam mati ...

Lah, kasian Xiao Fei, anjingku yang diberi makan kuping babi. Udah najis, haram pula makanannya.

#NulisRandom2015
#day14

Image:
Makanan kucing: dari twitter
Makanan anjing: dari lemari makanan Xiao Fei :D

Saturday, June 13, 2015

KESEMPATAN

Aslinya, susunan gigi saya rapi. Dan karena kecelakaan yang memalukan, saya kehilangan taring kiri dan satu gigi di belakangnya.

Saya akan menggantinya dengan gigi buatan untuk menjaga gigi-gigi yang lain teguh tidak mudah goyang.

A ha. Kurasa ini kesempatan untuk menjadi cantik tanpa operasi plastik. Saya hanya perlu membuat gigi buatan ini menjadi tidak rata seperti awalnya. Saya akan bikin gingsul. Ya. Gingsul buatan!

Entahlah apa ini eksperimen yang tepat atau nekat, tapi saya memang dari dulu menyukai orang bergingsul satu. Ada kecantikan yang tidak biasa dari pemilik gingsul. Dan saya suka yang tidak biasa-biasa itu.

Kubayangka dulu, kalau nanti saya ke dokter gigi untuk membuat gingsul. Mungkin dentist akan berkedip-kedip memastikan saya tidak sedang di bawah pengaruh obat kutil overdosis. Di saat dia laris pasang behel untuk meratakan susunan gigi, ini ada emak-emak minta pasang gingsul yang mecuthat keluar barisan.

Haaa... entahlah. Cita-cita jangka pendek saya saat ini adalah punya satu gingsul sebelum lebaran tiba. Satu saja. Karena kalau sepuluh gingsul semua, itu mrongos namanya.

#NulisRandom2015
#day13

*warning, image by Google search. Itu bukan wajah saya ^_^

Friday, June 12, 2015

GENDUL KOPI

Saya kenal istilah ini ketika tinggal di Solo. Secara harfiah artinya adalah botol kopi atau botol yang berisi kopi, atau botol tempat kopi. Tapi di Solo, gendul kopi adalah sebutan untuk seseorang -biasanya seorang ibu- yang pekerjaannya membeli barang-barang bekas dari rumah ke rumah. Ada yang mengusung barangnya dengan sepeda, ada juga yang digendong dengan rinjing (bakul) besar.

#NulisRandom2015
#day12

Thursday, June 11, 2015

PLAYING THE VICTIM

※Setiap orang teis, tentu berdoa. Dan tentu ingin doanya dikabulkan. Tentang pada siapa ia berdoa, tentu berbeda-beda.

※Kebanyakan dari kita, sangat percaya bahwa doa orang yang terdzalimi sangatlah mustajab, doa orang teraniaya itu sangat mudah dikabulkan.

Entahlah apa ini logika yang jumpalitan, atau napsu berdoa yang tidak sabaran, atau apalah apalah... Sehingga muncullah orang-orang yang membuat dirinya terlihat teraniaya karena ingin doanya dikabulkan. Dia playing the victim.

Play victim selalu terlihat memelas, sengsara, sakit, terhina, butuh pertolongan dan lain-lain di awal. Lalu mencitrakan tegar, baik-baik saja, kadang menghujat atau malah mendoakan kebaikan pada yang menganiaya. Semua bermuara pada sebuah tujuan: kabulnya keinginan (doa)

Yang membuat play victim menjadi orang yang menyebalkan adalah karena kepada siapa sebenarnya dia sungguh-sungguh berdoa. Boleh saja dia tampak memohon pada Tuhan, namun sesungguhya yang dia inginkan adalah simpati dari manusia. Parah lagi bila sebenarnya dia ingin pujian saja.

Orang-orang seperti ini akan selalu menjadi wet blanket yang bikin orang lain tak nyaman. Kerap menjadi perusak pesta pula karena biasanya lebay menunjukan keteraniayaannya (opoh iki?)

Namanya juga playing the victim. Kalo kata wiki sih, self-victimized. The fabrication of victimhood for a variety of reasons such as to justify abuse of others, to manipulate others, a coping strategy or attention seeking.
Hoyoohh..... ((ATTENTION SEEKING)) Caper!! Itu pendeknya.

#NulisRandom2015
#day11

Random betulan. Bahkan mukaku hari ini juga random. Acak ngga jelas.

Wednesday, June 10, 2015

INFUSED WATER BRILLIANT TIME

Waktu datang ke acara peluncuran program GEMAS hari Minggu kemarin, saya menemukan tiga jar minuman berbeda di antara jajanan yang dibawa teman-teman. Minuman dalam jar cantik itu dibuat oleh orang perpustakaan Brilliant Time, Nanshijio - Taipei.

Jar pertama adalah seduhan black tea. Skip, ini ngga usah dibahas. Ngga ada yang perlu saya jelaskan :D

Jar kedua adalah paduan pickled lime dan fresh lemon yang diseduh dengan air soda. Skip lagi. Saya ngga minum soda soalnya ^^

Jar ketiga adalah infused water yang berisi daun mint, daun lemongrass, dan irisan lemon. Ketika baru datang, isi jar masih terlihat baru. Namun ketika waktu makan tiba, airnya sudah hijau bening, terlihat segar sekali. Nah, jar ketiga inilah yang mencuri perhatian saya.


Setengah bercanda saya dan seorang teman menyebut infused water adalah hasil dari evolusi air kobokan. Dih, kejamnya :D
Tapi begitu minum segelas kecil, ah ... menyesal sekali tadi meledek begitu :(
Jar ketiga ini berisi air nirwana! Haaa... Oke, saya lebay. Tapi benar-benar saya menikmati rasa mint semriwing yang berpadu dengan pedas sere (lemongrass) dan asam segar lemon. Segelas air ini mengalir lancar mendorong nasi kuning dan urap yang masih nyangkut di tenggorokan. Saya minum lagi, lagi, lagi. Saya kompori teman saya, Justo si ketua FLP-T, untuk ikut menghabiskan isi jar supaya bisa mengambil jar baru di lantai bawah :D

Di dapur perpustakaan saya bertanya pada kawan saya, Tsai Ya Ting, tentang air ini. Dan ia, dengan semangat menunjukan bahan-bahan yang tersisa, sekaligus PERAMUNYA!
Yes. Teman nona Tsai yang membuat infuse water ini. Setelah basa-basi bla bla bla, ia memberi saya segenggam daun mint segar, seikat daun sere tanpa bonggol, dan sebutir lemon.
”Saya menanam sendiri daun mint dan lemongrass ini di rumah. Ini organik,” ucapnya ramah.

Maka pulanglah saya membawa aroma cinta dari Nanshijio.

Esoknya saya buat infused water serupa sendiri. Daun mint, sere, dan lemon memang sempat nginep semalam di kulkas, tapi paginya masih segar kok. Dengan jar tinggi dan air suhu ruang, saya seduh bahan-bahan itu sepenuh perasaan. Lalu masuk kulkas supaya lebih segar. Menjelang siang, saya nikmati bertiga dengan kakek dan nenek.

Soal khasiat infuse water ini, saya ngga mau bahas. Bukan ahlinya, sih... Nanti malah kesasar :D
Yang jelas, ramuan ini segar dan beraroma menenangkan.

Oiya, lemon bisa juga diganti lime (jeruk nipis). Besok-besok kalo di Indonesia, mungkin agak kesulitan cari daun mint. Jadi saya bawa benih mint dari sini, nanti tanam sendiri di rumah. Semoga lolos di bandara :D

(Eh, beneran ngga, sih, benih ngga boleh dibawa keluar Taiwan?)

#NulisRandom2015
#day10

Tuesday, June 9, 2015

MENDADAK VEGAN (Part 3)

Sepertinya saya memang tidak seharusnya makan daging di sini. Meski banyak pembenaran dari teman-teman masalah kehalalan, namun saya tetap tidak nyaman. Dan ketika saya tidak nyaman, bawaanya ya kepingin makan. Hihihihi ...

Fakta lebih menyesakkan saya temukan saat berdiskusi soal ini dengan nenek. Rupanya, makanan selain daging pun banyak yang tak boleh saya makan. Kue bulan yang empuk-enak-bikin nagih, kue matahari yang berlapis gurih, biskuit lembut yang lumer di mulut, sampai coklat blok yang legit lezat tiada tara. Apa pasal? Karena bahan-bahan dari makanan itu mengandung sesuatu yang berasal dari babi. Porcine, kata nenek.

"Biar kamu tenang, ikuti saja pola makan kakek. Jadilah vegetarian. Sehingga kamu terbebas dari daging sama sekali" ucap nenek memberi solusi.

Sejak itu, saya menjadi vegan. Sesekali masih merebus telur, atau membakar ikan. Minum susu dan makan keju juga ^_^
Dih, vegan macam apa itu :P
Tapi umumnya sehari-hari saya makan sayur dan protein nabati saja. Kue dan biskuit juga masih saya makan. Tapi kue dan biskuit vegan. Jujur, rasanya masih lebih lezat yang bukan vegan :D

Menu tiap hari yang tak pernah absen adalah sawi dan tahu. Sampai hari ini. Nih, saya habis makan sawi dan tahu waktu menulis ini :))

Dan ke-vegan-an saya berhenti di restoran Turki. Nenek  membawa saya ke sana beberapa kali. Jaminan halal dari MUI-nya Taiwan membuat nenek tak segan membelikan saya menu daging.

Sekarang, saya hampir mudik ke Indonesia. Di rumah nanti saya pasti lebih tenang makan daging ayam. Bagaimana tidak? Ayam yang saya makan itu adalah ayam yang saya kejar-kejar dulu di pekarangan, dan suami saya sembelih sendiri, tentu dengan Bismillah. Oiya, tentu saja itu ayam kami sendiri, bukan ayam tetangga. Afdol betul kehalalannya ^_^

Image by: Google search

Tidak bersambung ...

#NulisRandom2015
#day9

Monday, June 8, 2015

MENDADAK VEGAN (Part 2)

Setelah sadar bahwa tahu dan telur yang saya makan selama seminggu itu bercampur daging beibeh, maka saya memutuskan untuk berhenti. Kepada nenek saya sampaikan alasannya, dan beliau mengerti sepenuhnya. Maka mulai besok, saya akan beroperasi di dapur belahan non-vegan juga. Haa... tambah kerjaan >_<

Mengadopsi bumbu-bumbu yang diajarkan paman, saya mulai membuat "ru" tahu, telur, tempe, rumput laut, bahkan sayap ayam dan urat sapi. Tentu dari semua prosesnya, saya meniadakan segala bahan yang mengandung babi. Jadilah "ru halal" buatan saya. Keluarga yang lain juga ikut menikmati. Mereka bilang, rasanya tak kalah dari masakan paman waktu baru belajar (heih?!)

Karena mulai memasak dua jenis, yaitu makanan vegan dan non-vegan, maka saya mulai pula menjaga ketersediaan bahan makanan dan bumbu-bumbu di dapur. Mulailah saya rutin ke pasar.

Antri. Orang di sini sangat tertib kalau soal antri. Membeli sayur dan daging saja, tak bisa gruyukan berebut saling mendahului. Ketika memilih-milih, mungkin ramai berbarengan. Namun ketika bertransaksi, jangan harap bisa menyelak antrian.

Maka saya berusaha selalu datang lebih pagi dari kebiasaan para acim atau ama yang sudah tidak bisa bergerak secepat orang muda. Sesekali saya terjebak juga di antara mereka. Antri lama di belakang ama-ama yang pelaaaannn sekali menghitung uang untuk membayar. Ah, sabar saja ...

Atau sesekali pula saya sengaja antri berlama-lama, mempersilakan orang di belakang saya untuk membayar lebih dahulu. Apa pasal? Karena saat itu saya bertemu sesama orang Indonesia. Ngerumpi dulu sebentar ^^

Bertemu dengan orang Indonesia di tanah rantau yang jauhnya ribuan kilometer, itu seperti bertemu saudara. Layaknya saudara, mereka juga ada yang menyenangkan, ada yang menyebalkan. Hahahaha... Ya, biasa saja lah :D

Pernah pula saya terpingkal-pingkal di pasar ketika mengantri di kios daging. Saat itu saya bertemu dengan teman sesama Indonesian dan berkerudung. Yang membuat kami tertawa adalah, karena saat itu kami sedang mengantri di kios daging babi. Tak ada kata-kata. Ketika kami bertemu, saling melihat kerudung kami, dan menoleh bersamaan ke arah jeroan babi yang bergelantungan, kepala babi yang nyantel di gancu, dan onggokan tulang iga babi di meja kios. Baik, kawan ... Ini cuma soal pekerjaan. Hanya pekerjaan.

Nah, suatu hari saya datang ke pasar terlalu siang. Kios ayam sudah sedang dibersihkan. Tak ada sisa daging di sana. Tapi karena pasar ini cuma segruyukan, pagi ramai tapi siang bubar, maka aku harus rela pulang tanpa daging ayam.

Entahlah, mungkin penjualnya merasa kasihan denganku yang berkeringat jalan kaki dari rumah, aku ditawarinya menunggu sejenak untuk dipotongkan seekor ayam. Khusus untukku.

Sambil terus mengobrol, penjual itu enteng sekali mencomot ayam hidup dari kandang, lalu -masih dengan mengobrol- tewaslah sang ayam di tangannya. Cekatan sekali bulu-bulunya dibersihkan, jeroan dikeluarkan, dan daging dipotong-potong sesuai kebutuhan.

Di perjalanan pulang, saya melamun. Pikiran saya terus saja berputar di sekitar peristiwa penyembelihan ayam tadi. Jadi, penjual itu potong ayam sambil ngobrol, ya ... Tidak bismillah dulu, gitu?

Apa? Bismillah?? Owalah ... Penjual itu bukan muslim. Tak ada bismillah di adabnya. Dan meski pengetahuan fiqh yang saya miliki masih cetek, namun untuk sekedar tahu hukum halal-haram daging, saya masih bisa merabanya.

Halal dan haram sesuatu bukan hanya dilihat dari dzat-nya, melainkan juga dari asal-usul dan cara memprosesnya.

Dari point ini saja saya sadar bahwa daging ayam ini pun tidak halal, sebab cara memprosesnya: menyembelih tanpa menyebut asma Allah ...

Jadi, daging sapinya? Bebek? Kambing?

Saya galau lagi ...

Bersambung ...

Image by: Google search

Next: Makan mengikuti pola vegan kakek, dan insyaf di restoran Turki.

#NulisRandom2015
#day8

Sunday, June 7, 2015

MENDADAK VEGAN (Part 1)

Sudah lama saya mengendapkan soal ini di pemikiran saja. Eh, ngga segitunya, ding. Saya cuma agak malas saja menulisnya. Namun gara-gara request seorang kawan yang tiap hari kulanggan tulisannya-dia request resep vegan- maka saya menulis pengantar kisah bagaimana saya secara tiba-tiba memutuskan menjadi vegan (meski abal-abal).

Iya, selama 3 tahun hidup di Taipei, saya adalah vegan jadi-jadian. Menjadi vegan karena alasan kenyamanan, bukan kesehatan, apalagi kepercayaan.

Ah, begini, begini. Untuk disebut sebagai vegan, jelas saya bukan vegan murni. Bahkan kasta vegan paling rendah sekalipun, ovo-lacto vegetarian (masih makan telur dan susu). Saya masih makan daging dan ikan, kadang-kadang.

Lalu, vegan macam apa saya ini?

Kisahnya dimulai bulan Juni 2012 (*gelar tiker*)

Ketika baru datang bekerja di keluarga ini, tugas yang saya terima hanya berkaitan dengan pasien saja. Obat, makanan, terapi,  dan lain-lain. Kakek, pasien saya, adalah seorang vegan, sedangkan nenek dan keluarga yang lain adalah pemakan segala ^^

Pertama melihat dapur di rumah ini, serasa terbelah menjadi dua. Peralatan, bahan makanan, bumbu, dan tempat cucian, semuanya serba dua. Iya. Satu untuk vegan, satu lagi untuk non-vegan. Karena saya merawat pasien yang vegan, maka dalam minggu pertama, hanya belahan dapur vegan yang saya sentuh.

"Kuasai dulu kebutuhan diet kakek. Kamu tak perlu memasak untuk kami sementara ini," ucap nenek.

Oke sip.

Lalu, makan saya bagaimana?

"Kamu makan pientang, ya, sama seperti kami. Kamu muslim? Tidak makan babi, ya? Baiklah. Ayam makan, kan? Telur?" Nenek melanjutkan.

Beres. Apalagi penyedia pientang (meal box) itu paman sendiri. Jadi tiap siang dan malam saya menikmati sekotak nasi, atau sebongkah besar mantou (yang tak pernah bisa saya habiskan), 2 macam sayuran, sekerat daging ayam/bebek/sapi, sepotong tahu/telur/tempe (yak! Tempe!). Sedangkan paginya sarapan susu kedelai dan roti isi. Buah dan biskuit bebas makan kapan saja.

Dari isian menu di pientang itu, yang paling saya sukai adalah tahu dan telur berbumbu coklat yang beraroma rempah wangi sekali. Kadang saya tidak menghabiskan nasi, sayur, atau dagingnya. Namun tahu atau telurnya selalu ludes. Enak sekali. Sungguh. Kadang ada tempelan lembaran daun bawang di tahu, kadang potongan jahe, kadang ada serpihan empuk seperti daging, kadang butiran pedas. Ah, sungguh penasaran dengan bumbu tahu dan telur itu.

"Kamu suka tahu dan telurnya?  Kapan-kapan masak sendiri saja. Ayo ke rumah paman untuk belajar," ajak nenek.

So excited *_*

Rumah paman beraroma lezat sekali. Bau rempah meruap di setiap sudut rumah. Asap tipis berulir-ulir laksana memanggil hidung untuk mengikuti dari mana asalnya. Macam film kartun saja.

Di dapur paman, alat masak beradu macam orkestra. Ada bau sayur dan daging mentah. Namun yang mendominasi tetap aroma bumbu yang sedang dalam proses pemasakan.

"Ini bumbu "ru" untuk tahu dan telurnya," tunjuk paman pada deretan rempah di meja.

Jahe, star anise, kayu manis, cabe sichuan, jinten, bawang putih, daun bawang, kecap asin, gula batu, dan serutan bumbu seperti kayu berwarna terang yang entah apa namanya.

Saya ikuti proses membuat "ru". Tentu saja tidak detail, karena sebetulnya paman sudah masak "ru" untuk jatah hari itu. Maka segera saya longok panci besoooaaarr di atas kompor.

Panci itu penuh berisi kuah coklat yang bergolak ringan. Kulihat ada banyak tahu berdesakan berenang di dalamnya. Sedangkan butiran-butiran telur rebus yang sudah dikupas masih teronggok di nampan besar di samping kompor.

Paman mengaduk "ru" tahu itu. Para tahu jumpalitan bertabrakan dengan serpihan-serpihan rempah dan lembaran daun bawang. Eh, tunggu! Kok ada isi lain di panci itu? Seperti daging ...

"Itu apa, paman?"

"Ini cu-ciao. Kaki babi. Dimasak "ru" bersama tahu untuk memperkaya rasa. Kulit dan lemaknya akan membuat gurih tahu, meski tidak diberi penyedap rasa. Cu-ciao ini nanti juga akan dimasak bersama telur dan tempe. Jadi ... "

Paman masih lancar menjelaskan seluruh proses memasak itu dengan suara yang sangat ramah. Sedangkan saya tiba-tiba saja tercekat bagai habis menelan biji salak. Ada yang bergolak di perut saya ...

Jadi tahu itu ...? Telurnya, juga ...? Lalu, serpihan daging yang menempel di tahu, yang saya kunyah dengan  penuh rasa nikmat itu ...?

Oke oke ... saya baik-baik saja. Saya baik-baik saja!

~~bersambung~~

Next: Bahkan daging ayam dan sapi yang saya olah sendiri pun akhirnya meragukan.

Image: Google search.

#NulisRandom2015
#day7

Saturday, June 6, 2015

CIRENG NGEJRENG

Dari kemarin di dapur mainan karbo melulu. Terigu, gula, tepung ubi. Wah, kurang sehat, nih ...

Tapi tanggung, masih ada aci (tapioka) nganggur :D Yowes, bikin satu kali lagi saja. Habis ini, bikin cemilan sehat. Atau tidak usah bikin saja sekalian. Lagian posting resep-resep yang bukan makanan spektakuler gitu di blog tiap hari juga bosan.

Apalagi pas nulis gini ada yang nuduh-nuduh apalah apalah -_-

Baiklah, mari kita ngomong soal Cireng Ngejreng, lakon kita hari ini!

Cireng, adalah aci digoreng. Masih berkerabat dengan cilok (aci dicolok) atas dasar kesamaan asal muasal. Jadi cireng dan cilok masih satu nasab. Kalau di tukang gorengan, cireng berpasangan dengan saus mpek-mpek yang asam-manis-pedas-enak. Tapi Cireng ngejreng saya hari ini mengalami perjodohan paksa dengan bumbu kacang yang saya kucuri air lemon dan taburi bawang goreng. Entah saus macam apa itu. Tambah kacau lagi karena di sebelahnya saya kecrotin sambal pedas botolan.

Oiya, rasa penyedap dalam cireng di tukang gorengan biasanya kuat sekali. Namun karena saya berusaha membuat cireng sehat, penyedap itu saya ganti dengan bubuk jamur yang gurih. Bubuk jamur ini biasa dipakai oleh para vegetarian. Jadi meski cireng bukan juga makanan yang recomended untuk diet, setidaknya tidak nyampah-nyampah amat ^^


Bahan dan bumbu :

*200 gram tepung aci (tapioka) ini dibagi dua, 50 gram dan 150 gram.

*1/4 sdt merica

*2 siung bawang putih, haluskan

*1 batang daun bawang, iris lembut

*garam secukupnya

*1 sdm terigu. Campuran terigu hanya untuk membuat cireng tidak terlalu alot.

*2 sdt bubuk jamur, atau bisa ganti dengan bubuk kaldu

*150 ml air dingin.

*siapkan juga sedikit tepung aci untuk taburan tangan saat membentuk.


Cara membuat :

*Larutkan 50 gram tepung aci dalam 150 air dingin. Lalu masak di api kecil sampai menjadi seperti lem. Ini yang dinamakan adonan biang.

*Campurkan semua bahan lainnya secara merata dalam satu wadah

*Masuka campuran bahan sedikit demi sedikit ke adonan biang sambil terus diaduk.

*Akan lebih bagus kalau pengadukan ini dilakukan dengan cara mencubiti adonan. Eh, atau mencomoti cemal-cemul gitu sampai tepung yang kering bersatu dengan lem yang lengket sehingga mrmbentuk adonan yang bisa dibentuk dengan tangan.

*Ambil sejumlah adonan yang kenyal itu, lalu bentuk menjadi bulatan pipih yang tidak terlalu tipis.

*Bila adonan sudah terbentuk semua, siapkan minyak dalam wajan.

*Goreng cireng di dalam minyak panas di atas api kecil saja supaya tidak mengembung.

*Setelah matang, tiriskan minyak dan sajikan hangat-hangat dengan sausnya.

Resep di atas menghasilkan sekitar 10 keping cireng ukuran sedang.

Oiya, saya agak keliru kemarin. Niatnya sih mau bikin cireng makin gurih dengan menambah bawang goreng dalam adonan. Tapi hasilnya kurang cantik karena bawang goreng bikin cireng jadi bercak-bercak :(
Maka belajarlah dari kesalahan saya, ya.

Selamat menikmati Cireng Ngejreng.

#NulisRandom2015
#day6

Friday, June 5, 2015

CILOK GEBOY

Yang namanya cilok, ya memang "aci dicolok". Makanan ini bahan dasarnya dari tepung aci, atau kanji, atau tapioka. Biasanya bulat-bulat, dan makannya ditusuk-dicelup-dicaplok. Cilok biasanya cuma sesuapan habis. Bulatan-bulatan kenyal yang berukuran pas untuk disuap sekali leb. Saos atau sambal celupannya bisa beraneka rupa. Sambal pedas, kecap pedas-manis, bumbu kacang, atau bahkan mungkin kuah kari kental bisa juga dicoba. Cilok adalah makanan yang fleksibel. Ya teksturnya, ya padanan saos sambalnya.

Kali ini saya berkreasi dengan cilok yang sedikit berbeda dari pakem dasar 'percilokan'. Mulai dari bahan dasar, ukuran, maupun isian.

Bahan dasar tepung aci/kanji/tapioka, saya ganti dengan tepung pati ubi jalar (ti kua fen). Tepung  ubi ini sama seperti tapioka, akan menjadi lem bila disiram air panas. Namun saya memilih tepung ubi karena lebih bening ketika dimasak. Tapioka akan menghasilkan cilok yang keruh. Sedangkan cilok dengan tepung ubi lebih putih dan bening. Pokoknya lebih cantik, deh.

Lalu problem beberapa teman yang menyatakan cilok mereka keras seperti sol sepatu, bisa diatasi dengan mencampur tepung ubi/tapioka dengan terigu. Perbandingan yang saya pakai di sini adalah 3 tepung ubi : 1 tepung terigu. Pernah juga saya pakai 4 tepung ubi : 1 tepung terigu. Hasilnya tidak jauh berbeda.

Ukuran cilok yang biasanya kecil, saya perbesar sehingga untuk memakannya perlu digigit dan disisakan. Kalau nekat makan cilok saya dengan sekali leb, kemungkinan besar anda akan mendelik dengan pipi mengembung.

Ukuran besar cilok saya ini disebabkan oleh adanya isi di tengah bola kenyalnya. Saya mengisi cilok dengan tumis ayam+wortel.

Berikut resep dan cara membuatnya:

※Bahan cilok:

-420 g Tepung ubi (Ti kua fen)
-140 g Tepung terigu
-500 ml air panas (tidak akan terpakai semua)
-1 mangkok irisan daun bawang
-Garam dan merica secukupnya.

※Bahan isi

-1 mangkuk daging ayam suwir
-1 butir telur
-1/2 wortel, iris dadu kecil kecil
-1/2 bawang bombai, iris kecil-kecil juga
-Garam dan merica secukupnya
-Sedikit minyak untuk menumis

※Cara membuat.

-Campurkan tepung ubi, terigu, daun bawang, garam dan merica dalam mangkuk besar. Aduk merata.
-Tuangi campuran tepung tersebut dengan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk terus.
-Perhatikan adonan. Tepung ubi yang tersiram air panas akan mengental. Aduk cepat sehingga semua bahan tercampur merata
-Boleh diuleni pakai tangan, itu kalau anda sakti dan tahan panas. Tapi lebih aman, pakai saja spatula atau sendok kayu. Aduk sampai kalis.
-Setelah adonan cilok kalis, tutup dengan plastik wrap sampai adonan berkeringat laksana olahragawan dari gym :D

- Sementara menunggu, bisa menyiapkan isiannya.
-Panaskan minyak, goreng telur menjadi orak-arik. Angkat, sisihkan.
-Sisa minyak menggoreng telur, gunakan untuk menumis bawang bombai sampai harum.
-Masukan wortel dan ayam suwir
-Tambahkan garam dan merica.
-Aduk sampai tidak berair lagi.
-Setelah itu, matikan api. Masukan telur orak arik, aduk sampai rata.
-Angin-anginkan isian cilok ini agar tidak terlalu panas.

-Ambil adonan cilok, pipihkan di telapak tangan. Agar tidak lengket, sediakan terigu kering di dekat anda, dan taburi telapak tangan setiap kali hendak membentuk bola-bola cilok isi tumis ayam ini.

-Setelah bola-bola cilok terbentuk, didihkan air di panci. Taruh pelan-pelan cilok di air mendidih.
-Jangan sentuh, apalagi mengaduk cilok yang sedang direbus agar tidak pecah. Biarkan matang sendiri. Cilok-cilok yang sudah matang akan mengambang.
-Ambil cilok yang sudah matang, sajikan dengan saos/sambal sesuai selera.
-Nikmati cilok selagi hangat dengan cara menusuknya memakai garpu. Bila ingin tusukan cilok dimakan sekali leb, belah cilok dengan gunting makanan.

*Resep ini menghasilkan 45 butir Cilok Geboy.

Selamat menikmati Cilok Geboy. Cilok montok dengan isi gurih nan sexy.

#NulisRandom2015
#day5

Thursday, June 4, 2015

MENGUNGKAP DAGING UNGKEP

Tulisan ini sebenarnya adalah salinan ulang dari posting Koki Koko. Saya bisa membuat ungkepan, tapi tidak mengerti detail dan printilan berkaitan dengan hal ini. Maka dari postingan itu saya berhasil mengungkap rahasia daging ungkep.

Mas Koko, mohon maaf kalimat-kalimat dalam postingan panjenengan saya permak. Bukan supaya lebih indah, melainkan hanya biar gantian saya saja yang eksis dalam resep ungkep ini ^^
Mosok mas doang yang jadi seleb. Saya juga mau, Mas ...

"Ungkep" adalah istilah Jawa yang sampai hari ini masih belum tahu apa padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Mengungkep itu adalah memasak dengan sedikit air dan mendiamkannya sampai air tersebut susut atau habis.

Yang membedakan mengungkep dengan cara memasak yang lain adalah masakan yang diungkep sebenarnya masakan setengah jadi. Meskipun sudah bisa dimakan setelah matang namun sebenarnya tujuannya untuk diolah lebih lanjut. Umumnya bahan yang diungkep setelah itu akan diolah lagi dengan cara lain, misalnya digoreng atau dibakar.

Jadi pada proses mengungkep itu tujuannya adalah untuk membuat bumbu dan rempah yang digunakan jauh lebih meresap ke dalam bahan (terutama daging) yang tentu saja rasanya jauh berbeda dibandingkan dengan jika bahan tersebut sekedar direndam di dalam bumbu selama beberapa menit, yang rasanya hanya akan ada di lapisan luar saja, tidak merasuk sampai ke dalam.

Adapun kelebihan cara mengungkep adalah karena dengan penggunaan air yang sedikit, maka sari-sari dan zat-zat yang ada di dalam bahan makanan tidak banyak yang terbuang, selain itu tentu saja bahan yang sudah diungkep bisa disimpan di dalam lemari pendingin untuk dimasak lagi jika dibutuhkan. Pun pada proses pemasakan yang kedua juga tak membutuhkan waktu yang lama karena bahan sudah dalam keadaan matang.

Jika anda berkesempatan mengunjungi tempat-tempat makan yang menyediakan menu berbahan daging, besar kemungkinan itu adalah daging yang sebelumnya sudah diungkep dulu dan disiapkan saat hidangan tersebut dipesan. Praktis dan cepat disajikan karena cukup dipanaskan, entah itu digoreng, ditumis, dipanggang atau dibakar.

Berikut ini adalah resep bumbu ungkepan yang mudah, bercitarasa rempah yang kuat, lezat dan sama sekali tak membutuhkan MSG dalam bentuk apapun... catat, sama sekali tak perlu MSG!



※Bahan:

- 1 kg daging ayam atau sapi (bisa diganti dengan tempe atau tahu untuk yang vegan)
- 1 liter air
- 3-5 sdm minyak goreng untuk menumis


※Bumbu halus:

- 5 siung bawang putih
- 2 jari kunyit
- 1 ruas jari jahe
- 1 sendok teh merica
- 1 sendok teh jintan
- 1 sendok makan ketumbar
- 6 butir kemiri
- garam secukupnya (sesuai selera)
- Gula secukupnya (sesuai selera)


※Bumbu luar:

- 8 lembar daun jeruk, remas-remas
- 4 batang serai, memarkan
- 2 genggam kelapa parut


※Cara membuat:

- Panaskan wajan dengan menambahkan minyak goreng
- Masukkan bumbu halus, daun jeruk dan serai, tumis hingga berbau harum
- masukkan daging/bahan, bolak balik beberapa saat. Jika mulai kering tambahkan sedikit air dan masak hingga air susut. Setelah itu masukkan sisa air dan tutup wajan agar panas tidak keluar.
- Setelah air mulai mengental, bolak balik daging/bahan hingga seluruh bagian terlapisi bumbu.
- Berikutnya masukkan kelapa parut dan terus dibolak balik hingga bumbu benar-benar kering dan bahan terselimuti rata oleh bumbu dan kelapa parut. (fungsi kelapa parut adalah untuk menciptakan rasa gurih dan tekstur kremes ketika bahan digoreng ulang)
- Ayam/daging/ tempe/tahu ungkep siap disimpan, selanjutnya bisa digoreng ketika dibutuhkan. Jika ingin dipanggang atau dibakar, tinggal mengolesinya dengan kecap.

Oiya, mengikuti jejak Koki Koko, saya juga tidak memberi hak cipta apa-apa untuk tulisan dan gambar ini. Beliau penganut Copyleft ^^, jadi segala yang telah beliau share di internet, bukan lagi miliknya pribadi.

Setelah rahasia terungkap, sekarang giliran praktek mengungkep :))

Selamat mencoba!


#NulisRandom2015
#day4

Wednesday, June 3, 2015

KIMCHI CANTIK MERAH MERONA

Sebelum para penggemar terlanjur memuji, lebih dulu saya mengaku bahwa kimchi yang saya bahas kali ini adalah kreasi Eva.
(silakan koor: 'huuu ...')

Konon kimchi adalah makanan tersehat di dunia. Tapi saya tidak terlalu tertarik dengan fakta ini. Ketertarikan saya pada kimchi semata-mata karena enak, dan ke-Korea-Korea-an ^^
Kimchi, atau saya dengan ndeso-nya sebut asinan sawi, enak disantap dengan bubur beras putih, atau dikudap begitu saja. Duh, nulis ini saja saya ngiler ingin lari ke dapur buka kulkas ambil kimchi taruh mangkok lalu caplok :))

Karena saya tidak bisa membagi fisik kimchinya, maka saya bagi resep dan gambarnya saja.

※Bahan


-Satu sawi
-Wortel, lobak, daun bawang (sedikit saja)

※Bumbu

-1 Bawang bombay
-3 siung bawang putih
-1 ruas jari jahe
-1 mangkok kecil bubuk cabe (bisa dikurangi buat yang tidak suka pedas)
-3 sendok kecap ikan
-3 sendok tepung beras, larutkan dalam 2 mangkuk air (+/- 400ml)
-2 sendok gula pasir

※Cara membuat

(Proses masing-masing bagian ini secara terpisah)

-Potong sawi jadi 4 bagian memanjang, lalu cuci bersih.
-Lumuri dengan garam, diamkan selama 2-6 jam kemudian cuci bersih kembali.
-Wortel, lobak, dan daun bawang juga diiris kecil memanjang.

-Blender Bawang bombay, jahe dan bawang putih

-Masak larutan tepung beras dengan api kecil sambil diaduk terus.
-Setelah letupan pertama, matikan api.
-Tambahkan dua sendok gula pasir aduk-aduk sampai larut tercampur. Diamkan hingga dingin.

-Campurkan bubuk cabe, bumbu yang diblender dan 3 sendok minyak ikan. Aduk rata.
-Tambahkan  irisan wortel, lobak, dan daun bawang. Aduk lagi
-Setelah semua tercampur rata, lumurkan pada sawi secara merata. Campur sedikit demi sedikit supaya masuk dan meresap sampai ke lipatan-lipatan sawi.

-Siapkan wadah tertutup. Toples kaca lebih baik. Masukan campuran semua bahan kimchi itu, dan biarkan ada di suhu ruang selama 48 jam. Sepanjang waktu itu akan terjadi fermentasi.
-Tengok dan awasi kimchi sering-sering selama proses fermentasi, terutama dari kemungkinan suami, anak, ade, kakak, atau bahkan kucing yang tidak sabaran ingin segera makan >_<
-Setelah fermentasi sempurna, kimchi akan berbau tajam dan berrasa asam. Pindahkan penyimpanan kimchi ke kulkas. Di dalam kulkas, kimchi dapat tahan untuk waktu yang lama.


Tambahan tips.

※Supaya lebih terasa Indonesia-nya, bumbu kimchi bisa ditambah sedikit terasi. Masak terasi bersama larutan tepung beras.
※Dapat pula ditambah cumi segar untuk rasa yang lebih tajam.
※Rasa kimchi akan lebih sempurna jika setelah selesai proses fermentasi, kimchi disimpan dalam toples tertutup di kulkas tanpa dibuka selama 2 minggu. Aduuh, tapi siapa yang sabar menunggu begitu lama? :((

Selamat mencoba, dan menikmati kimchi cantik merah merona ;)

#NulisRandom2015
#day3

Tuesday, June 2, 2015

NASTAR PERJUANGAN

Pertama, saya harus bisa move on dari kenangan gagal total mengeksekusi nastar tempo hari. Ini semata-mata agar saya berani mencoba lagi membuat kue yang sama. Sayang juga pada selai nanas yang sukses saya buat sebelumnya, dong!

Kegagalan nastar tempo hari, setelah dievaluasi, adalah sebab kesalahan proses. Butter yang seharusnya diolah dalam keadaan utuh di suhu ruang, malah saya (dengan sok tahunya) cairkan dan kocok sekuatnya. Salah fatal :))
Nastar pun ambyar di loyang panggangan.

Nah, kali ini, saya proses dengan menuruti petunjuk dari guru. Berikut saya bagi pada anda, resep, tips, dan gambar hasil akhirnya: nastar lembut lumer di mulut yang berhasil membangkitkan saya dari keterpurukan *halah*

Bahan:

Isi:
*Selai nanas buatan sendiri. Resep bisa dilihat di SINI.

Kulit:
*125 gr butter. Biarkan dalam suhu ruang.
*50 gr gula halus
*200 gr tepung protein rendah
*1 butir kuning telur
*1 sendok makan susu bubuk

Olesan:
*1 butir kuning telur
*1 sendok makan madu

Cara membuat:

*Kocok pelan butter dan kuning telur dalam mangkuk.

*Masukan gula halus dengan diayak. Aduk sampai rata.

*Pelan-pelan tambahkan tepung terigu sedikit demi sedikit dengan diayak pula. Kali ini, jangan mengaduk adonan, tapi mengiris-iris menggunakan spatula.

*Tambahkan susu bubuk. Terus iris-iris adonan sampai membentuk seperti pasir, namun merata. Awalnya memang menggumpal (banyak kerikil, begitu saya sebut) namun lama-lama pasti akan buyar seperti pasir.

*Diamkan adonan sementara waktu. Tutup dengan lap bersih, atau plastik wrap. Sementara menunggu, anda bisa mengepel, atau ngerumpi dulu. Bebas.

*Oh, atau waktu menunggu itu anda gunakan saja untuk mempersiapkan isinya. Bentuklah selai nanas menjadi bulatan-bulatan kecil, dan sisihkan.

*Setelah kira-kira 30 menit, buka adonan, dan uleni sebentar. Cukup agar adonan itu kalis saja. Dari sini saya belajar bahwa suhu tubuh (dari tangan yang menguleni) akan berpengaruh pada hasil jadi.
Oh, baiklah. Kalau sedang demam, saya tak akan coba-coba bikin kue (ya iya, lah. Orang demam buat berdiri aja kliyengan, gimana mau bikin kue >_< )

*Lanjut. Setelah diuleni, ambil sebagian adonan, lalu pipihkan di telapak tangan,  masukan bulatan selai nanas, dan tutup kembali sambil dibentuk menjadi bola-bola.

*Siapkan loyang berdinding rendah. Olesi sedikit butter/margarin di dasarnya.

*Tata bola-bola nastar di atas loyang dengan jarak masing-masing 1 cm.

*Panggang dalam oven bersuhu 150˚-175˚ C selama 20 menit. Nastar ini tidak memerlukan suhu tinggi untuk memanggangnya.

*Setelah 20 menit keluarkan nastar, lalu oles permukaannya dengan kuning telur yang dicampur madu.

*Panggang kembali selama 10 menit.

*Setelah nastar berlapis telur terlihat kuning keemasan, keluarkan dari oven, lalu dinginkan.

*Boleh cicipi dulu sebelum ditata dalam wadah ^_^

*Simpan dalam wadah tertutup. Tapi kalau belum matang saja sudah banyak yang mengantri untuk makan, maka nastar tak perlu lagi disimpan :))

Resep di atas adalah porsi percobaan, hanya menghasilkan +/- 30 butir nastar secaplokan.

Nah, hasil akhir adalah nastar seperti ini ^_^

Selamat mencoba.


#NulisRandom2015
#day2

Monday, June 1, 2015

PINEAPPLE JAM UNTUK CINTA

Mungkin karena saya emak-emak, maka naluri untuk memberi makan anak-anak sangat lekat. Kebetulan dua gadis saya, Elok dan Embun, bukan anak-anak yang picky, jadi membuat makanan untuk mereka bukan masalah. Yang jadi masalah adalah kemampuan memasak saya tidak setinggi semangat yang saya punya. Elok dan Embun seringkali lebih memilih masakan Baginda, suami saya, daripada olahan tangan emaknya :(
Dan itu terkadang menghancurkan hati.

Tapi bukan Erin namanya kalau harus tumbang hanya karena penolakan. Anak-anak itu saya taklukan dengan bersenang-senang mencoba resep baru yang ayahnya belum pernah membuatnya. Soal hasil akhir yang mungkin tetap ditolak, itu tak penting lagi. Rasa bahagia dan bangga datang saat mereka dengan senang hati ikut mengolah makanan.

Oh, sekarang musim nanas di sini. Jadi agenda dapurnya adalah mengolah nanas menjadi selai. Saya bagikan resep plus tipsnya. Hasil akhir, silakan masing-masing saja :))

Bahan:
*1 buah nanas besar
*100gr gula pasir mentah (raw sugar, biasanya berwarna agak kecoklatan)
*Batang kayu manis, atau bisa diganti cengkih, star anise, bahkan tidak semuanya juga oke.

Cara membuat:
*kupas, cuci, dan cincang nanas menjadi bongkahan kecil. Bisa juga diserut kasar. Ini supaya hasil selainya berserat dan bertekstur agak kasar.
*masukan dalam panci bersama gula, masak dengan api kecil, aduk terus sampai nanas hancur.
*setelah nanas hancur, masukan kayu manis/cengkih/star anise, dan masak terus sampai air berkurang.
*proses pemasakan ini makan waktu minimal 1 jam sampai selai berbentuk seperti dodol.
*setelah matang, ambil kayu manis/cengkih/star anise.
*dinginkan, lalu simpan dalan wadah bertutup rapat di dalam kulkas.

Setelah selai jadi, saya biarkan anak-anak mencicipi dengan mencolek atau menyendoknya, setelah dingin tentunya. Tak harus terlalu ketat melarang-larang mereka. Yang penting, jaga keamanan. Ingatkan anak-anak kalau benda-benda di dapur itu jauh lebih panas dari omelan emaknya >_< Biasanya sih, saya tidak melibatkan mereka ketika beraksi dengan api.

Selamat mencoba.
Bila gagal, coba lagi esoknya ;)

#NulisRandom2015
#day1

Sunday, May 31, 2015

BUBUK KALDU AYAM RUMAHAN

Hampir di semua masakan yang saya buat (meski cuma sedikit) saya selalu menambahkan kaldu ayam. Biasanya saya membuat kaldu cair, lalu saya bekukan di cetakan es batu, dan ambil satu bongkah setiap kali memasak. Namun ini kadang merepotkan, karena bongkahan kaldu beku berukuran sama, sedangkan kebutuhan tiap-tiap masakan berbeda.
Nah, suatu hari saya nemu tulisan di Fb: bikin kaldu ayam bubuk sendiri. Hmm... kelihatannya ini yang lebih kubutuhkan.

Saya reblog resep kaldu ini dari fb Emak Kreatif

Lila Rusydatun Nafi'ah menulis:

CHICKEN POWDER

Bahannya :
300gr dada ayam atau daging ayam tanpa kulit dan lemak (aku pakai ayam negri, kalau mau ganti kampung juga bisa)
1 buah Wortel
25 siung bawang putih
1/2 bawang bombay
Seledri (saya pakai 2 batang )
2 sdm garam (bisa diskip kalau untuk mpasi bayi)
1 daun bawang

Caranya: Haluskan dengan foodprocessor semua jadi satu tanpa air (kalau ga punya food processor, bisa pakai blender tambah air sedikit). Lalu sangrai diatas wajan antilengket tanpa minyak sambil diaduk terus ( untuk menghilangkan kandungan air). Setelah itu , ratakan dalam loyang kue, lalu oven. Sebentar-sebentar diaduk. Setelah hampir garing, blender kering (pakai blender bumbu yang kecil) Lalu ratakan lagi di loyang kue dan oven lagi sampai kering. Sesekali aduk-aduk. Terakhir blender lagi supaya lebih halus dan masukan dalam toples kaca yang sudah disteril. Tahan sebulan...( karena saya bikin untuk sebulan hehe)

By: Ndaru Gendis Shinta

Na... Dengan coba-coba resep baru dan bereksplorasi dengan bumbu, maka saya yang sebenarnya sangat enggan memasak, menemukan keasyikan.

Percobaan tidak harus selalu berhasil. Saya sering gagal (woh, pamer aib :p) tapi saya tetap berusaha terus selama wajan masih bisa ditelentangkan (hakpret!)

Anda juga harus mencoba meski mungkin gagal. Yakinlah, bahwa kegagalan itu bukanlah keberhasilan yang tertunda, melainkan ketidakberhasilan yang terjadi begitu saja! :))
Yang terakhir ini kata kawan saya, Pakdhe Eko Bambang Trivisia.

Selamat mencoba. Semoga berhasil, lalu hasilnya kirim ke saya. Sehingga saya tak perlu lagi mencoba :))


Image: dari fb Lila Rusydatun Nafi'ah

#NulisRandom2015

Friday, February 27, 2015

BUJANG JOGJA DI TV LINTAS NEGARA

Sebagai follower twitter, teman Facebook, fans FP, pembaca blog, dan penggemar tulisan-tulisan Pak Edi Mulyono, alias Edi Akhiles, alias Edi AH Iyubenu, maka saya tahu beberapa waktu yang lalu beliau sekeluarga melancong ke Thailand. Bahkan sebelum itu, saya ikuti pula berita kunjungan beliau ke Malaysia, Jepang, bahkan Eropa. Foto-foto terupload dengan rapi di media-media yang saya sentuh itu.

Dalam begitu banyak foto, ada selebriti di rombongan kecil keluarga bahagia itu; anak lelaki bungsu beliau. Ya, De Garaa (benarkah begini menulisnya? CMIIW). Anak bujang itu pula favoritku. Sedap nian dipandang mata, karena ia sungguh ekspresif dan photogenic. Yes, saya mengaku sering berlama-lama melihat Si Bujang dalam gambar. Sedang bermain drum, naik motor trail, duduk santai, melongok curiously, berdiri cool, bahkan cemberut-yang sama sekali ngga mengurangi kharismanya. Tsah!!
Itulah mengapa saya seolah hapal sekali dengan wajah Si Bujang yang, untungnya, mirip sang ibu ^_^ (maaf, Pak)

Lalu, sekitar seminggu yang lalu saya sedang duduk santai menemani kakek menonton TV. Lupa chanel berapa, tapi saya ingat betul itu stasiun TV berbahasa Jepang. Program yang disiarkan adalah semacam jurnal perjalanan wisata seorang gadis Jepang di Bangkok, Thailand.
Wisata Bangkok memang khas. Kuil-kuil indah, jajanan extreme, lady boy cantik, dan kendaraan khas Tuk-tuk.
Naah... sewaktu scene sang gadis dalam Tuk-tuk, ada sesuatu yang membuat mata saya sulit berkedip, dan bibir saya sulit dibatasi rekah senyumnya. Si Gadis terus melaporkan keasyikannya menaiki Tuk-tuk, sedangkan kamera mengarah ke sekitar; ke supir, ornamen dalam kendaraan, dan penumpang lainnya. Saat kamera bergerak itulah saya melihat sebuah wajah yang tak asing (meski belum pernah sekalipun saya lihat aslinya). Wajah seorang bujang berbaju kuning dan berkacamata hitam bulat mengangkat tangan menyapa ke kamera.

De Garaa!!

Aih, masa, sih De Garaa?!
Tapi saya begitu hapal dengan wajah itu.

Demi meyakinkan perasaan yang sebenarnya sudah sangat yakin, saya mencoba konfirmasi pada ayah Si Bujang.
Confirmed! Yap, itu De Garaa.

+ Punten pak, apa waktu di Thailand kmarin bapak&kluarga ketemu orang jepang lg shooting? Ini sy liat TV sama kakek, acara reality show japan. Kok liat dek Gara di tuk tuk :D
- Haahh masak iya de garaa
+ Mirip. Persis malah.
Kaos kuning, sun glass bulat.
Dia kah?
- Iyaa betul. Kok bs yaa

(Itu copas konfirmasi saya dengan beliau)

Jadi saat mereka sekeluarga naik Tuk-tuk di Bangkok, boleh jadi kebetulan bersama dengan dua orang kru TV Jepang itu (si Gadis dan kameraman)

Saya rasa ini keren sekali. Seorang bujang dari Jogja, tanpa sengaja masuk TV Jepang dalam acara wisata di Thailand. Dan saya, seorang emak dari Cilacap melihatnya bersama kakek di Bukit Wenshan, Taipei, Republic of China.

Betapa dunia ini penuh dengan ujug-ujug mak bedunduk.

**Sumber foto: laman Fb bapak Edi Mulyono.

Wednesday, February 4, 2015

”MERAYU” JURI LOMBA MENULIS

Tulisan ini saya share untuk teman-teman dalam rangka menyambut Taiwan Literature Award for Migrant #2 tahun ini.
Ini adalah poin-poin yang saya pakai dan perhatikan ketika mengikuti lomba itu tahun lalu. Saya memang hanya berhasil menjadi juara favorit, bersama 5 orang lainnya. Tapi tulisan itu (katanya) mendapat apresiasi khusus di forum penulis-penulis Taiwan. Ini kata Mrs. Kuo Yu Ling, penulis novel terkenal yang mengajak saya berdiskusi dengan teman-temannya. Lalu diapresiasi pula secara khusus oleh koran United Daily News yang pada tanggal 12 Oktober 2014 memuat profil saya sepanjang 2/3 halaman.
Well, katimbang saya berpanjang-panjang pamer dan bikin teman-teman mual, langsung saya tulis saja ’jimat’ saya untuk merayu para juri dalam lomba itu.

1. Menulislah dengan bagus. Ini MUTLAK dan HARUS! Pelajari EYD dan tanda baca yang benar.

2. Teliti tiap huruf. Hindari typo, atau salah ketik huruf. Jangan malas untuk memeriksa berulang-ulang tulisan sebelum diposting.

3. Pilih cerita yang universal dan mudah dimengerti oleh orang dari negara manapun. Ingat, juri lomba ini bukan hanya orang Indonesia, maka pastikan segala persoalan yang ditulis bisa dimengerti dan menyentuh rasa dan karsa orang yang berbeda budaya. Paling aman bila kita mengambil cerita yang bersifat humanis, atau kemanusiaan.

4. Usahakan tidak narsis. Jangan terlalu sibuk bercerita tentang diri sendiri, curhat dan mengeluh, apalagi memuji-muji diri sendiri. TIDAK BOLEH merendahkan dan menghina orang lain. Juga jangan terlalu menyanjung orang lain, lalu merendahkan posisi kita sendiri. Biasa saja, lah. Letakan diri kita sejajar dengan siapa pun, dalam posisi masing-masing.

5. Masih berhubungan dengan poin 4, daripada menulis tentang ”SIAPA SAYA” lebih baik menulis tentang ”APA YANG TERJADI” dari sudut pandang saya. Artinya, kita mengajak juri (dan pembaca) untuk mengikuti ’saya’ melihat sebuah peristiwa. Bukan menyuruh mereka melihat ’saya’ mengikuti sebuah peristiwa.

6. Observasi. Lengkapi tulisanmu dengan data, meski itu fiksi sekalipun. Jangan malas untuk mengobservasi sedikit pengetahuanmu di bidang tertentu. Misal, tentang penyakit, tentang jenis bunga, tentang geografi, atau apapun, untuk mendukung ceritamu supaya lebih menarik dan ’terlihat cerdas’ :))

Bingung, ya? Ha ha ha... Sama!

Pokoknya begitulah yang saya perhatikan ketika mengikuti lomba tahun lalu. Boleh diikuti, boleh tidak. Terserah saja. Soalnya saya juga tidak tahu juri itu menilainya bagaimana.

Yang penting, menulislah...
Ikut lomba, jangan asal jadi penggembira. Bekali dirimu dengan mental berkompetisi. Belajar dan berusaha memberi yang terbaik.
Ikut lomba, berusahalah untuk menang. Kerahkan segala upayamu untuk menjadi juara.
Ikut lomba, harus percaya diri. Saya akui, yang ini agak susah karena saya juga kadang minder dan jiper duluan ^_^ Tapi memang harus begitu. Cuma jangan kebablasan ya... Jadinya over confidence dan anti kritik.

Dan yang harus: SEMANGAT!!

Sunday, February 1, 2015

UBAN DI DEPAN CERMIN

Avi menyesali keputusannya untuk menjadi pekerja ilegal di Taiwan. Hanya karena ingin libur setiap akhir pekan, ia nekat kabur dari majikan resminya dan menerima tawaran kerja di pabrik makanan. Iming-iming uang yang banyak dan kebebasan telah menutup nalarnya dari kenyataan bahwa menjadi pekerja ilegal itu sangat beresiko.

Dua bulan pertama, betul memang Avi menikmati kebebasan hang out setiap akhir pekan kemanapun ia suka. Soal uang, tak beda jauh dari yang dihasilkannya ketika bekerja resmi. Malah ia jadi makin boros sekarang.

Tapi semua kenikmatan itu tak lama ia rasakan. Mess tempat tinggalnya digerebek oleh petugas imigrasi. Kawan-kawannya tertangkap. Avi lolos dengan cara kabur dari jendela kamar mandi. Ia lari tanpa membawa barang. Hanya pakaian yang melekat, beserta ponsel dan dompet berisi uang. Beruntung ia punya kawan orang Indonesia yang menikah dengan orang Taiwan. Di rumah kawannya yang bernama Lena inilah Avi menumpang sementara.

"Maaf, Vi, aku ngga bisa nampung kamu lama-lama di sini. Keberadaanmu membahayakan kami," kata Lena hati-hati.

"Iya, Len. Aku mengerti. Besok aku akan pergi," ujar Avi lesu.

**********

"Siao cie, ini mau kemana sebenarnya? Dari tadi berputar-putar saja," tegur supir taxi yang ditumpangi Avi.

Avi menghela napas dan menyuruhnya menepi. Ia melongok argo dan menyodorkan uang sejumlah yang tertera.

"Siao cie, kamu terlihat bingung. Kenapa? Ada yang bisa kubantu?"

Pertanyaan supir taxi itu mengurungkan sebentar gerak Avi yang hendak keluar. Ia bimbang luar biasa.

"Ah, tidak apa-apa. Terima kasih, Sien sen," sahutnya.

"Kamu seperti orang yang kabur dan sedang mencari pekerjaan." Supir taxi ini berucap dengan sangat tenang, tapi mampu membuat badan Avi mematung seketika.

********

Dari supir taxi itulah Avi akhirnya menemukan jalan keluar. Rupanya supir itu juga sering menjadi perantara pekerja-pekerja ilegal mencari pekerjaan. Avi ditawarinya bekerja di sebuah rumah yang jauh dari kota. Bahkan terpencil jauh pula dari tetangga yang lain. Tugasnya adalah merawat seorang kakek yang lumpuh separuh badan, serta bersih-bersih rumah.

Di rumah yang bangunannya sudah terlihat tua itu, ia tinggal hanya bertiga dengan kakek, dan seorang nyonya -mungkin anaknya- yang selalu menginginkan rumah itu bersih tanpa cela.

Kakek hanya bisa duduk di kursi roda dan sedikit bergerak saja. Bicara pun sudah susah, hanya gumaman tak jelas. Sedangkan sang nyonya lebih sering duduk dan membaca.

Rumah ini amat sepi. Sebenarnya Avi tidak betah sama sekali. Tapi dengan kondisi saat ini, justru tempat terpencil ini aman untuknya. Ia berpikir, mungkin akan mencoba bertahan sementara waktu saja.

Setiap pagi, bahkan hampir setiap saat, Avi harus selalu siap dengan lap. Ia harus segera menyeka benda apapun yang terlihat berdebu atau kotor di rumah ini. Kalau sampai nyonya menemukan ada yang kotor, maka bombardir kata-kata bernada protes akan keluar. Itu membuat Avi sumpek dan merasa lelah berlipat-lipat.

Untung saja kakek tidak merepotkan. Urusan menjaga kakek bisa ditangani dengan mudah. Apalagi tak ada anak kecil di rumah ini. Hanya saja memang sang nyonya yang super teliti pada kebersihan membuat Avi kerap harus membersihkan area yang sama berulang-ulang.

Satu tempat yang hampir tiap hari diprotes oleh nyonya adalah area depan cermin wastafel kamar kakek. Entah bagaimana, di area itu kerap tiba-tiba terdapat banyak remah atau bubuk putih seperti bedak. Kadang juga ceceran krim. Dan yang paling aneh, hampir setiap pagi Avi menemukan beberapa helai rontokan rambut berwarna putih di situ. Ini jelas bukan rambutnya, karena ia belum beruban. Rambut nyonya juga hitam legam. Satu-satunya orang yang beruban di rumah hanya kakek. Tapi kakek berambut pendek. Helai uban yang ditemukannya di depan cermin itu panjang.

Mungkin ia tak akan kebingungan seandainya ada orang yang sering memakai wastafel di kamar kakek itu. Nyatanya tak seorangpun pernah sengaja bercermin dan berdandan di situ. Avi hanya sesekali memakainya untuk mencuci tangan sebelum mempersiapkan kakek berangkat tidur.

"Avi! Ini masih kotor di sini," kata nyonya sambil mencolek tepian wastafel.

Tempat itu lagi!

Sambil mengelap tebaran bubuk putih, Avi melihat ke langit-langit. Mungkin ada yang rusak di atas sehingga cat atau materialnya rontok. Tapi tidak ada yang pantas dicurigai. Semua kelihatan baik.

Di mangkuk wastafel Avi menemukan lagi dua helai uban. Kali ini, ia tidak membuang uban itu, tapi memasukannya ke dalam plastik dan menyimpannya di kabinet di bawah wastafel.

********

Saban malam Avi tidur seperti bangkai. Jatuh lelap dalam sekali. Kelelahan yang dirasakannya sepanjang hari mengantarnya masuk alam mimpi total sampai pagi.

Kamarnya hanya terpisah sebuah sekat kayu dan tirai dari kamar kakek. Jadi meski boleh dibilang sekamar dengan pasien, Avi tetap punya privacy. Kakek pun tak pernah membangunkannya tengah malam. Dan meski cerewet soal pekerjaan, sang nyonya tetap memberi waktu istirahat yang cukup untuknya.

Namun malam ini berbeda. Avi memang sudah sangat lelah dan mengantuk. Tapi dipaksakannya membersihkan wastafel kamar, yang lagi-lagi dikotori oleh hamparan bubuk putih. Bahkan kali ini ada banyak helai uban yang tercecer. Avi merasa harus membersihkannya sekarang, karena boleh jadi besok nyonya akan memeriksa selagi dirinya belum sempat membersihkan karena sibuk membuat sarapan.

"Ini uban siapa, ya? Kok tiap hari terus ada ..." gumam Avi lirih pada dirinya sendiri.

Uban yang ditemukannya, disatukan dengan kumpulan uban di plastik yang sudah banyak.

Kakek tampak sudah mulai terlelap. Namun selimutnya agak tersingkap. Maka Avi mendekat untuk memperbaiki posisinya.

Ketika menarik selimut, Avi melihat ternyata kakek belum tidur.

"Avi, ng ... hwi ... hu ... ma ... ng .. hhh ...," Kakek bergumam-gumam tak jelas.

"Istirahat dulu, Kek." Avi menenangkan kakek dengan mengusap punggung tangannya.

Namun tiba-tiba kakek menggenggam tangan Avi erat-erat dan bangkit dengan mudahnya seperti orang sehat. Wajahnya yang biasanya tidak simetris, sekarang bisa tersenyum lebar dan cerah sekali.

"Avi, aku akan bertemu kekasihku malam ini. Tolong ambilkan sepatu dan rompi rajut untukku,"

Sungguh mengejutkan. Avi berdiri pias bagai patung melihat kakek yang biasanya lemah tak berdaya, sekarang segar bugar dan bicara dengan sangat jelas dan lancar. Badan Avi kaku dan dingin seketika dicekam ketakutan dan keterkejutan yang dahsyat.

Karena Avi diam saja maka kakek bangkit dengan ringannya menuju lemari. Kakek mengganti piyama tidurnya dengan setelan celana, kemeja, rompi, dan topi pet yang rapi. Sepatu kulit di pojok lemari juga dikenakannya. Kakek sekarang berpenampilan seperti lelaki sehat yang siap bepergian.

"Kakek, bagaimana bisa tiba-tiba sehat?" Avi masih merasa seperti bermimpi.

Badan tegang Avi makin mengejang ketika pandangannya tertumbuk pada sosok perempuan tua berambut panjang sedang berdiri menyisir dan berdandan di depan cermin wastafel. Badannya bercahaya. Pakaian rapi berwarna biru muda membalut tubuh keriputnya. Perempuan itu cantik, namun pucat.

Kakek mendekat dan menggamit lembut kedua tangannya. Mereka lalu berpelukan dan menari pelan. Berkali-kali Avi menepuk dan mencubit pipinya sendiri untuk memastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. Ia merasakan tepukan dan cubitannya sendiri, namun suaranya lindap ditelan keterkejutan sekaligus kengerian.

Tiba-tiba perempuan tua itu melayang masuk ke dalam cermin menyeret kakek ikut masuk pelan-pelan. Kali ini otak Avi menyentuh batas sadar, dan tahu harus segera bertindak.

"Kakek! Jangan ikut, Kek!"

Badan kakek sudah separuh masuk ke balik cermin. Sekuat tenaga Avi menarik ujung rompinya. Tapi tangan perempuan tua itu menjulur keluar menghantam kepala Avi.

PLAAKK!!!

Avi terjengkang dan pingsan.

***********

Ketika kesadaran merambati nalarnya, wajah pertama yang Avi lihat adalah wajah nyonya.

"Ah, sudah sadar. Istirahatlah dulu sampai kamu pulih, Avi," ucap nyonya lembut.

"Maaf, Nyonya, aku kenapa? Oh, bagaimana dengan kakek?" Avi begitu cemas. Apalagi ketika ingatannya kembali penuh, terutama tentang kejadian semalam.

"Kamu terlalu capek, jadi pingsan. Sudah, istirahat saja dulu. Kakek baik-baik saja. Biar aku yang mengurusnya sementara," kata nyonya.

Ketika nyonya beranjak pergi, Avi melongok ke kamar kakek. Dilihatnya kakek sedang duduk diam sambil mendengar radio. Avi lega. Berarti kejadian aneh semalan mungkin hanya mimpi.

Sambil mengunyah roti yang diberi nyonya, Avi masih berusaha pelan-pelan meyakinkan dirinya sendiri tentang kejadian semalam. Rasanya begitu nyata. Ia masih ingat betul detail peristiwanya detik demi detik. Sampai ia teringat pada sesuatu.

Uban!

Ya, uban. Masih adakah uban di depan cermin?

Dengan badan yang masih agak lemah, Avi beranjak ke kamar kakek dan memeriksa area wastafel. Ia melihat dengan teliti setiap sudutnya. Bersih, tanpa remah-remah putih seperti biasanya. Namun kali ini ia menemukan sebuah lipstick.

"Apa ini punya perempuan tua yang semalam?" gumam Avi pada dirinya sendiri.

Pelan-pelan Avi memandang cermin dan menyentuhnya. Semalam ia melihat dengan jelas perempuan tua itu menarik kakek masuk menembusnya. Cermin itu terasa sangat dingin di kulit Avi.

Tiba-tiba sepasang tangan keriput menjulur keluar dari dalam cermin dan mencengkeram pundak Avi. Gadis itu terkejut bukan main. Sebenarnya ia reflek melenting mundur, tapi kalah cepat dengan gerakan sepasang tangan itu yang menariknya begitu kuat. Badan Avi tersedot masuk menembus cermin.

"Aaaa...!! Kakek! Nyonya! Tolooong...!" Avi memekik panik.

Namun semua terlambat. Kini Avi terkurung tak bisa keluar lagi. Suaranya juga lenyap teredam. Tapi ia masih bisa melihat suasana kamar kakek. Tangan Avi mengetuk cermin berkali-kali. Apalagi ketika dilihatnya nyonya masuk menghampiri kakek.

Kejadian selanjutnya membuat Avi hilang harapan. Dilihatnya kakek berdiri dan berjalan seperti orang sehat berdampingan dengan nyonya yang tertawa-tawa seperti puas sekali. Mereka berdua meninggalkan kamar setelah menancapkan sebatang hio di depan cermin wastafel.

※TAMAT※

Saturday, January 3, 2015

RONA


Tak ada lagi yang bisa kulakukan sekarang. Terlambat sudah ...

Kucengkeram sandaran kursi dingin ini dengan tangan gemetar. Dadaku sesak, mataku panas, dan tenggorokanku tercekat. Sesal, marah dan rasa tak berguna berbaur, kemudian tumpah menjadi butiran-butiran keringat dingin.

Rona duduk mematung. Hanya kembang kempis pelan napasnya yang menandakan dirinya masih bernyawa. Matanya terbuka, namun tak ada sinar yang hidup di sana. Pupilnya sama sekali tak bergulir meski tirai jendela melambai-lambai menyebabkan sinar mentari menyengat-meredup menimpa wajanya. Aku saja silau. Tapi tidak dengan Rona.

Kematian memang mengerikan. Berkali-kali aku menyaksikan lepasnya nyawa dari raga. Pekerjaanku di Rumah Sakit Panti Jompo membuatku tak asing dengan hal itu. Kesedihan yang timbul dari kematian telah kualami berulang-ulang. Hari ini ada, esok tiada. Hari ini masih bercengkerama, esok telah beda dunia. Itu sudah biasa sekali bagiku.

Namun yang Rona alami memukulku telak di dinding hati yang paling sensitif. Sedih dan kehilanganku sungguh dahsyat. Bukan nyawa yang tercerabut dari raga, melainkan cahaya hidupnya. Yang mati pada diri Rona adalah kewarasannya, akal budinya. Kini Rona tak lebih dari sekedar tubuh yang bernapas, tanpa akal bahkan napsu.

Seandainya saja dulu aku lebih keras mencegahnya ...

*******

Setahun yang lalu ...

”Sebaiknya kamu pikirkan lagi masak-masak sebelum memutuskan perkara sepenting itu,” Ucapku pelan.

”Sudah dua bulan aku memikirkannya. Kurasa niatku sudah bulat sekarang,” Sahut Rona mantap.

”Jadi ...,” Aku tak berani meneruskan.

”Ya. Akan kuterima tawaran pasangan itu menyewa rahimku seharga NTD 900.000,” Rona menutup percakapan.

Dia sehat, berbadan ideal, dan cantik. Pernah menikah, namun sebelum sempat hamil, suaminya sudah keburu meninggal. Rona seorang janda kembang. Hidup miskin di desa membuatnya bergerak bersama arus ribuan perempuan -termasuk aku- bekerja ke luar negeri menjadi buruh. Bila aku bekerja di Rumah Sakit Panti Jompo, Rona memperoleh pekerjaan di sebuah pabrik kancing. Mess kami bersebelahan. Dari kedekatan tempat inilah kami saling mengenal.

”Mereka sudah 15 tahun menikah, tapi belum juga berhasil punya anak. Tenang saja, Rin, bosku yang menawarkan ini padaku. Pasangan itu adalah rekanan bisnisnya di China,” Cerita Rona berapi-api.

”Tapi hal seperti ini mungkin ilegal,” Aku coba mengingatkan.

”Mmm ... Nggak tahu juga, ya. Ah, tapi bukannya bosku juga pejabat di sini. Pasti dia tahu soal hukum,”

”Mungkin bukan hal yang benar juga menurut Islam ...,”

Aduh, mengapa aku ragu mencegahnya? Sebabnya adalah karena aku tidak tahu hukum di Taiwan, dan hukum agamaku sendiri soal sewa rahim. Hati kecilku berkata ’jangan’ dengan sangat keras, namun mulutku tak sanggup mendebat Rona yang seperti sedang dijatuhi bintang.

*********

Terjadi sudah. Tiga calon janin sudah bersemayam di rahim Rona. Dan dia adalah wanita yang kuat. Kehamilan tidak membuat fisiknya melemah. Tak ada ngidam, pre-emesis, atau apapun. Rona hamil dengan sangat sehat dan nyaman.

Tentu ini juga membuat pasangan yang menyewa rahimnya sangat gembira. Rona diperlakukan seperti raja. Dia tidak lagi harus bekerja berjam-jam di pabrik dan tinggal di mess ramai-ramai dengan banyak pekerja. Tempat tinggalnya kini adalah apartemen mewah yang penuh fasilitas.

Namun rupanya Rona bukan kacang yang lupa kulitnya. Perubahan drastis hidupnya tidak menjauhkan dia dari kami, teman-teman lamanya. Hampir tiap hari dia masih mengunjungi kami di mess maupun di warung tempat kami kumpul. Penampilannya memang sangat berubah. Segala yang melekat di tubuhnya adalah barang bermerk. Tasnya saja tak akan terbeli dengan dua bulan gajiku. Dan itu semua diberikan cuma-cuma oleh penyewa rahimnya. Uang kontrak senilai NTD 900.000 utuh tak tersentuh diberikan dalam bentuk tabungan berjangka setahun. Mujurnya lagi, bos pabrik tempatnya bekerja juga masih menggajinya. Gaji inilah yang Rona kirim ke kampung untuk keluarganya. Utuh. Semuanya.

Aku suka memperhatikan perubahan pada tubuh Rona. Kulitnya kini makin segar, badannya agak berisi. Pinggulnya melebar, dan dadanya membesar. Kehamilannya masih samar, tapi Rona sudah membiasakan diri memakai pakaian lembut yang tidak mengikat perut. Bagiku, Rona semakin cantik. Orang hamil memang selalu cantik.

Keceriaan Rona tetap seperti dulu. Bercanda dan tertawa-tawa lepas, saling ledek dan bicara agak kasar -meski gurauan- dengan kami, dan mengemil makanan bersama dalam wadah besar.

Namun pada suatu sore, aku melihat Rona yang berbeda. Dia melangkah pelan-pelan sambil tesenyum. Ditariknya tanganku, diajaknya menyentuh perut yang sudah membukit.

”Mereka sudah bergerak-gerak!” Pekiknya bersemangat.

Ketika kuraba, aku merasakan kedutan lembut di perutnya. Kulihat Rona tersenyum, menarik napas panjang, dan memejamkan matanya dengan anggun.

Sejak saat itu Rona menjadi sangat lembut dan melankolis. Tak jarang kulihat dia sedang mengelus perutnya sambil bergumam mesra bicara sendiri. Dia bahkan mulai mereka-reka nama untuk bayi tabungnya. Dari tiga calon janin yang ditanam, hanya dua yang berhasil bertahan. Aku melihat Rona telah tumbuh menjadi ibu.

Dan inilah bibit dari masalah besar dalam hidupnya; Rona jatuh cinta pada janin milik orang lain. Memang tidak salah, tapi tidak seharusnya Rona jatuh cinta sedalam ini ...

********

”Mbak Rin, Rona tadi telepon, sore ini dia operasi cesar. Kalau mbak Rin kosong, dia minta ditemani,” Seorang kawan kerja menyampaikan pesan dari Rona.

Aku baru saja sampai mess setelah kerja lembur dua shift. Kebetulan, akhir pekan libur dan awal pekan kebagian shift akhir. Ah, aku bisa menemani Rona dua hari penuh!

Tak perlu kuambil tempo, langsung kutuju rumah sakit tempat Rona operasi. Saat itu dua bayi mungil baru saja diambil dari semayam hangat rahim Rona. Aku diijinkan masuk oleh penyewa rahim Rona, dan menyaksikan itu semua dari balik kaca bersama mereka. Kulihat dokter masih mengurus luka di perutnya, sedangkan asistennya meletakan bayi-bayi mungil itu di atas dada Rona yang telanjang. Mata Rona berair, namun bibirnya tersenyum tanpa henti. Bayi-bayi itu secara insting mencari puting susu.

Pasangan penyewa rahim berpelukan dalam haru. Aku pun terharu dan merasakan kebahagiaan mereka menemukan muara dari penantian panjangnya.

*******

Keibuan Rona makin sempurna dengan menetesnya cairan putih kekuningan dari payudaranya. ASI Rona mulai berproduksi.

Rona memang bahagia, namun agak gusar karena tidak diijinkan menyusui langsung. Berkali-kali dia meminta pada dokter, namun selalu ditolak dengan berbagai alasan. Bayi-bayi itu menyusu dari ASI perah yang disuapkan dengan botol.

Aku tak bisa menunggui Rona setiap waktu. Namun setiap ada waktu luang, aku selalu datang ke Rumah Sakit mengunjunginya. Maka aku tahu perkembangannya. Rona sehat dan luka operasinya membaik. Aku tak tahu kabar tentang bayi-bayi itu. Ah, kupikir itu bukan urusanku. Pasti orangtua sang bayi sudah menjamin perawatan terbaik. Yang terpenting bagiku adalah Rona. Aku hanya fokus padanya.

Rupanya tidak begitu bagi Rona. Hampir dua minggu dia tidak bertemu lagi dengan bayi-bayi itu semenjak hari kelahiran mereka. Ini benar-benar membuat Rona gusar dan seperti patah hati.

Hingga di hari ke-20, bos Rona di pabrik sengaja menemuiku yang sedang bekerja.

”Sudah saya mintakan ijin pada kepala Rumah Sakit untukmu. Tolong ikut saya. Rona membutuhkanmu,” Ucap lelaki itu dengan cemas.
Ada hawa tidak enak merayapi naluriku...

Benar saja ...

Sesampainya di Rumah Sakit, kulihat Rona sedang meronta-ronta di atas ranjang. Lengan dan kakinya sudah terikat. Tangisnya memilukan. Perawat yang didekatnya terlihat sedang menyiapkan sebuah suntikan.

”Jangan bawa pergi anak-anaku! Jangan! Aku yang mengandungnya! Aku ibunya!!!”

Histeris teriakan Rona menggema sampai lorong panjang yang penuh tenaga medis berlalu-lalang. Aku langsung menubruk memeluk tubuh Rona tak peduli dengan orang-orang sekitar. Rona menerima pelukanku dengan berhenti meronta, tapi terus menangis. Aku tahu, sangat tahu, apa yang terjadi ...

Inilah yang aku khawatirkan sejak lama. Bahkan sejak benih manusia itu belum ditanam di rahimnya. Meski bukan darah dagingnya, namun bayi-bayi itu telah menjadikan Rona seorang ibu. Aliran darah mereka pernah bersatu, detak jantung mereka pernah bersenyawa. Bagaimana bisa sekarang harus berpisah?

*********

”Dua bulan lagi semua uang kontrak rahimnya akan likuid. Gajinya bekerja padaku setahun kedepan juga akan kuberikan. Tolong kamu urus semuanya. Tiket dan seluruh keperluan untuk kepulangannya sudah kupersiapkan,” Ucap bos Rona.

Datar sekali lelaki itu mengatakan semuanya. Gigiku gemelutuk menahan geram. Namun aku tak bisa apa-apa. Posisiku tidak berdaya. Yang kumampu sekarang hanya mendampingi Rona sampai ke Indonesia.

Kupertaruhkan pekerjanku demi menjamin Rona pulang dengan aman. Cuti tahunan kuambil di awal. Dengan segala omelan dan segudang peringatan, aku membawa saudaraku kembali ke keluarganya dengan senyata-nyata kekalahan. Cita-cita Rona tinggal kenangan.

Aku merutuki diriku sendiri yang tidak berdaya karena kebodohan.

※TAMAT※