Saturday, September 27, 2014

DERET ENAM ANGKA

Semua yang dia bisa, sudah dilakukannya. Sejak dulu, sejak dia sudah mulai mengerti bahwa keinginannya akan banyak hal, jarang ada yang gratis. Hamdani kecil sudah banting tulang ketika kawan sebayanya masih dijatah uang jajan oleh orang tua mereka. Dan apa yang anak kecil bisa lakukan hanya menghasilkan sedikit saja uang. Itupun lebih banyak karena belas kasihan.

Ketika kawan-kawannya ramai bermain gundu, Hamdani kecil berjualan es lilin keliling kampung. Ketika musim layang-layang tiba, dan ramai orang bermain di sawah kering menjaring angin, Hamdani tekun menyabit rumput untuk kambing peliharaan tetangganya. Sedikit receh bisa dikantonginya dari sekeranjang besar rumput yang merana karena kemarau. Bonusnya adalah beberapa butir cimplukan dan singkong sisa panen di tanggul kali dekat tempatnya menyabit.

Dia punya emak yang wajahnya terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Mungkin beban kemiskinan yang telah merampas binar kemudaannya. Tidak ada bapak. Bukan sudah meninggal, melainkan entah di mana. Hamdani hanya mengenal sosok bapak dari serpihan-serpihan ingatan masa kecilnya. Sejak dia berusia dua tahun bapak lenyap. Bila dia bertanya tentang bapak pada emak, maka yang ditemukannya hanya air mata dan usapan tangan kasar emak di kepalanya.

Ada Umi yang terpaut empat tahun usianya dengan Hamdani. Kakak perempuannya ini hanya bisa di rumah sepulang sekolah. Bergantian dengan emak menjaga Maulana, adik Hamdani yang menderita hydrocephalus. Emak harus bekerja, namun Maulana tidak bisa ditinggal sendirian karena sangat tergantung pada orang lain. Emak kadang pergi ke pasar, menjadi buruh gendong. Atau bila masa panen tiba, emak akan ngasag, mengais butir-butir padi sisa mesin perontok. Maulana malang tidak pernah sempat bertemu bapak. Dia lahir sebulan setelah bapak lenyap.

Hidup miskin membuat emak, Umi, dan Hamdani panik setiap hari. Panik akan apa yang bisa mereka makan hari ini. Sakit yang diderita Maulana menambah nestapa anak-beranak itu. Namun semua itu tidak mampu membuat cinta mereka mati. Kemiskinan lekat menempelkan hati mereka satu sama lain. Ketika malam tiba, saat semua sudah di rumah dan membawa hasil mereka seharian bekerja, maka tergelar drama yang membuat siapa pun tertawa sambil mengeluarkan air mata haru.

”Selamat ulang tahun, kami ucapkan ...”

Umi dan Hamdani menyanyi bersama-sama sambil mengelus tubuh Maulana yang tergolek di atas dipan bambu. Maulana sudah besar, sudah berusia tujuh tahun. Badannya memanjang, namun lemas dan kurus kering. Kepalanya sangat besar dan gepeng. Senyum terkembang dari bibirnya, menampakan deretan gigi hitam. Suaranya tidak jelas, namun sorot matanya-yang selalu terbelalak- tampak gembira sekali. Emak membawa sepiring singkong rebus dan sangrai belalang sebagai menu makan malam mereka. Perempuan kurus itu tertawa melihat ketiga anaknya.

”Makan, makan! Menu istimewa yang akan membuat kita kenyang, sehat, dan tidur nyenyak,” gurau emak dengan suara riang.

Umi dan Hamdani mendekat, mengambil sepotong singkong, dan berebut menyuapi Maulana.

”Aih, Putri Umi dan Pangeran Hamdani makan sendiri saja. Pangeran Maulana biar Ibu Suri yang menyuapi.” Emak masih bergurau.

Di lingkaran lampu temaram, di dalam gubuk bambu, empat manusia bergembira dalam kesenangan yang sangat sederhana. Cinta yang melimpah ruah di antara mereka membuat kebahagiaan itu terasa amat istimewa.

***

Kehidupan berjalan pada titian yang sudah diatur oleh Sang Maha Sutradara. Keluarga sederhana Hamdani pelan berubah. Umi bekerja di Hongkong sebagai pembantu sejak usianya 19 tahun, sejak Hamdani masuk Madrasah Aliyah. Bertahun-tahun bekerja di majikan yang sama, majikan baik yang menganggapnya keluarga. Umi pelan-pelan berhasil mengangkat keluarganya dari jebakan kemiskinan.

Sedangkan Hamdani, setelah lulus Madrasah Aliyah, bekerja serabutan di kota kecil dekat kampungnya. Tiga tahun dihabiskannya untuk mencoba berbagai profesi. Dari sales kasur busa, tukang catat meteran air, pelayan toko obat, sampai tukang rakit lemari instan. Di usianya yang ke 21, dia pergi ke Taiwan, mendaftar bekerja di pabrik keramik di kota Taipei. Dia harus membayar sekitar 20 juta rupiah sebelum berangkat, dan sekitar 25 juta rupiah lagi selama sembilan bulan bekerja dalam bentuk potongan gaji tiap bulan. Modal sebelum berangkat dia dapatkan dari Umi.

Emak tinggal sendirian di kampung, karena Maulana akhirnya kembali ke pangkuan Tuhan ketika usianya menjelang sepuluh. Gubuk bambu sederhana mereka telah berubah menjadi rumah mungil semi permanen yang asri. Emak tidak lagi ngasag, karena sepetak sawah telah berhasil Umi beli untuk digarapnya.

***

Hari itu Hamdani keluar dari 7-11, toko serba ada yang buka 24 jam. Menenteng kantong berisi macam-macam makanan kering dan minuman soda. Dandanannya, meski sederhana, terlihat bagus dan tidak murahan. Tangannya sibuk dengan telepon selular layar sentuh. Agak kerepotan dia.

“Hao le ma?”  Seorang lelaki berkulit putih dan bermata sipit mencolek pundak Hamdani.

”Hao. Hao le,”  sahut Hamdani.

Mereka berdua bergegas ke seberang menuju stasiun kereta cepat. Hari masih sore, dan orang-orang banyak sekali berlalu-lalang di pelataran stasiun itu. Beberapa orang nampak berdiri saja di tengah orang yang bersliweran sambil memegang sebuah kendi dan mengacungkannya pada orang-orang itu. Pengumpul dana sumbangan rupanya.

Lelaki sipit yang berjalan bersama Hamdani merogoh saku, lalu memasukan kertas putih ke dalam kendi.

”Apa yang kau masukkan, Chen? Itu tadi kertas, bukan uang.” Hamdani bingung.

”Ya, itu tadi bon belanjaku di 7-11,” sahut lelaki yang dipanggil Chen.

”Bon? Kamu bercanda?”

”Kamu yang tidak tahu rupanya. Mereka pengumpul dana untuk rumah sosial. Kita bisa menyumbang uang, atau bon belanja. Uang jelas berguna. Bon belanja itu mereka terima karena ada angka seri yang akan diundi. Bila keluar angka itu, mereka akan dapat uang. Daripada kubuang, maka kuberikan saja pada mereka. Kalau bonku yang menang, biar uangnya buat mereka,”

Hamdani takjub mendengar penjelasan itu. Refleks tangannya merogoh kantong dan mengeluarkan bon belanja miliknya. Dia memperhatikan deretan angka di antara centang perenang huruf Cina yang tidak dipahaminya.

”Ayo cepat! Kereta datang!”

Mereka berdua berlarian menuju platform kereta cepat.

***

Pabrik keramik tempat Hamdani bekerja bukan pabrik yang sangat besar. Pekerjanya hanya sekitar 60 orang. Separuh pekerja adalah orang Taiwan, dan sisanya adalah pekerja asing dari Indonesia dan Thailand. Meski tidak besar, pabrik itu memberi fasilitas bagus untuk pekerjanya. Pekerja asing ditempatkan di mess yang bersebelahan dengan pabrik.

Bila waktu shalat tiba, pihak pabrik memperbolehkan pekerjanya shalat secara bergantian. Tempat bersih di samping kantor disediakan untuk itu. Lingkungan pabrik baik dan sehat. Hak-hak pekerja juga diberikan penuh dan tepat waktu. Hamdani beruntung bekerja di pabrik ini. Itulah mengapa waktu hampir dua tahun yang dilaluinya terasa singkat. Hamdani betah dan nyaman.

Malam ini mess sepi, karena kebanyakan teman bekerja lembur. Jatah lembur Hamdani besok malam. Hamdani yang hanya berkaos oblong dan bersarung hilir mudik membereskan kamar. Baju-baju miliknya sendiri dia kumpulkan untuk dicuci.

Ketka mengosongkan saku-saku bajunya, Hamdani tertegun menemukan selembar bon pembelian dari 7-11. Dia teringat cerita Chen soal undian, maka kertas itu disimpannya dalam dompet bersama uang dan kartu identitas miliknya.

Rupanya deretan angka di bon pembelian telah memikat hati Hamdani. Setiap kali dia berbelanja ke 7-11, kertas bon pembelian selalu disimpannya.

”Bagaimana kita tahu bon pembelian ini menang undian atau tidak?” tanya Hamdani pada Chen sewaktu makan siang.

”Uhm, setiap bulan ada pengumumannya di koran. Nanti kamu bisa cocokan. Minimal harus sama tiga angka belakang, kamu akan dapat 200 NT Dollar,” terang Chen.

Hamdani ingin bertanya lagi, namun Chen melanjutkan ucapannya.

”Kalau kamu suka undian seperti itu, beli saja Lotto. Kamu bisa mengadu keberuntunganmu tiga kali seminggu. Angkanya pun bisa kamu pesan. Jadi tidak seperti bon pembelian ini; sebulan sekali dan angkanya hanya menurut mesin kasir saja.”

Ooh, togel rupanya. Hamdani bergumam dalam hati.

”Aku antar kamu nanti ke kios Lotto.” Chen menutup percakapan.

Huk!!
Hamdani tersedak chow tofu atau tahu yang difermentasi dengan berbagai bahan sehingga beraroma sangat menyengat.

***

Kios Lotto terlihat ingar bingar dengan lampu warna-warni dan barang-barang yang bertumpuk berdesakan. Hamdani penasaran dengan cerita Chen tadi siang. Dia bukan tidak tahu bahwa mengadu keberuntungan seperti ini adalah dosa. Namun rupanya Hamdani mulai terseret godaan rasa penasarannya sendiri.

”Ada macam-macam jenisnya. Kamu mau coba yang mana? Harian? Tiga kali seminggu? Mingguan? Atau bahkan yang instant per jam?” Chen memberondong Hamdani yang masih tertegun-tegun di depan kios.

Dan malam itu Hamdani tergelincir melakukan dosa, sengaja melempar dadu mengadu keberuntungannya. Dibelinya selembar kupon Lotto dengan enam digit angka pesanannya seharga  50 NT Dollar. Dia membeli empat baris angka dalam satu kupon, sehingga taruhannya malam itu senilai 200 NT Dollar. Chen menganjurkannya untuk membeli beberapa kupon sekaligus, namun Hamdani menolak. Rupanya dia seperti orang kebanyakan ketika mengenal sesuatu yang baru, ingin mencicipi dulu sebelum benar-benar menelan untuk menuntaskan rasa penasarannya.

Pengundian Lotto malam itu di televisi tidak disaksikan Hamdani. Namun dia mendapat informasi dari Chen melalui pesan singkat. Kupon miliknya tidak menang sama sekali.

”Beli lagi saja. Kuajari cara menebak yang jitu,” saran Chen.
”Bagaimana?” tanya Hamdani.
”Aku punya catatan angka-angka yang sebelunya sudah pernah menang. Kita bisa menebak angka berikutnya dengan rumus-rumus tertentu. Kukenalkan kamu nanti dengan sepupuku. Dia jago merumus,” ucap Chen.

Ada yang mendesak-desak di dada dan tarik-menarik di hatinya. Hamdani bimbang. Dia tahu telah tergelincir dosa bermain judi angka seperti ini, namun rasa penasaran menguasai benaknya.

”Hamdani, hati-hati kamu bergaul di sini. Chen itu memang orang baik, tapi dia bukan muslim. Dia tidak paham kalau minum alkohol dan bermain judi itu haram untuk kita,” nasehat seorang teman sesama orang Indonesia.

Hamdani mengerti itu nasehat baik. Tapi entah mengapa ada yang terusik di hatinya. Dia merasa seperti disentil, tidak menyakitkan tapi membuat telinga dan pipinya panas.

***

Dulu, ketika ada waktu luang, pegangan Hamdani adalah buku dan Al Quran kecil. Meski bukan pemuda yang sangat alim, namun dia mau mengaji dan belajar ilmu agama. Shalat lima waktu juga tertib dipenuhinya, meski kadang tidak di awal waktu.

Sekarang, ketika ada waktu luang, pegangan Hamdani adalah kertas panjang berisi deretan angka-angka. Itu adalah rekapan nomor Lotto yang sudah pernah keluar. Hamdani sudah mulai ketagihan membelinya setelah beberapa kali menembus tiga angka terakhir. Taruhan yang dipasangnya kini bukan hanya beberapa ratus, melainkan sudah beberapa ribu. Dia merasa harus benar-benar menghitung supaya angka yang dipasangnya jitu. Maka dia membuat rekapan itu dan mengikuti cara Chen dan kawan-kawannya merumus. Dia selalu memelototinya tiap ada kesempatan. Sebisa mungkin dia menghindar dari kawan-kawannya. Meski di sini tidak aneh orang memasang taruhan di kupon Lotto, namun Hamdani masih merasa malu dan sungkan. Akibatnya dia mulai kehilangan kawan.

Telepon seluler Hamdani berbunyi, ada panggilan masuk.

Dari Umi? Tumben ... Batin Hamdani.

”Halo ... Assalamualaikum, Mbak,” sapanya.
”Waalaikumsalam, Dan. Mbak punya kejutan, nih.” Suara Umi riang di seberang.
”Apa?”
”Kok kamu sepertinya tidak tertarik? Mbak mau pulang ke Indonesia, dan tinggal di kampung saja dengan emak. Kalau tak ada halangan apa-apa, mbak juga ingin segera menikah. Kamu ingat mas Heri, khan? Kakak kelas mbak dulu,”
”… …”
”Hei! Kok diam saja? Kamu kira-kira bisa pulang cuti di akhir tahun kedua, tidak?”
”Eh, tak tahu lah, Mbak. Pabrik sedang banyak pekerjaan,”
”Ya sudah, tak usah dipikirkan sekarang. Sudah telepon emak?”
Emak?!
Hamdani lupa kapan terakhir telepon emaknya. Apa yang ada di pikiran dan hatinya kini sungguh berbeda. Sejak mengenal Lotto seakan tidak ada hal lain yang lebih perlu dipikirkan.
”Sudah belum?” ulang Umi.
”Iya nanti, Mbak. Eh, ini Dani sedang sibuk, Mbak. Sambung lain waktu, ya,”
”Baiklah. Jangan lupa shalatmu, Dani. Di mana pun dirimu, jangan pernah tinggalkan shalat. Wassalamualaikum,”
”Waalaikumsalam ...”

Selepas berbincang dengan kakaknya, Hamdani terpekur sejenak. Lemari stainless di sebelahnya memantulkan bayangan buram tubuhnya yang masih mengenakan pakaian kerja tebal. Wajah Hamdani kumal. Badannya mulai kurus kurang tidur, karena kebanyakan merumus nomor Lotto. Dia meraba dompet dan segera tahu isinya. Uang sisa gaji bulan ini masih separuh, dan dia merasa tak perlu mengirimkan pada emaknya, karena bulan kemarin sudah kirim.

”Sudah kamu tentukan angka berapa yang akan kamu pasang malam ini?” Suara Chen tiba-tiba terdengar. Hamdani terlonjak.
”Belum,” sahutnya pelan.
”Kalau kamu bingung dengan rumus yang kuajarkan, ada cara lain. Cara yang biasa kami lakukan di sini,” sambung Chen.
Hamdani menatap Chen menuntut penjelasan lebih lanjut.
Chen tersenyum dan segera menarik tangan Hamdani keluar areal pabrik.

***

”Kuil?”
Hamdani heran Chen mengajaknya masuk tempat sembahyang.
”Ikuti aku. Kami biasa meminta berkah pada Dewa Judi untuk memohon petunjuk, nomor berapa yang akan keluar malam nanti,” ucap Chen.
”Tidak, tidak. Silakan kamu yang bersembahyang memohon pada Dewa. Aku menunggu saja di teras,” tolak Hamdani lembut.

Sambil menunggu Chen bersembahyang, Hamdani duduk di teras kuil dengan air mata menitik di sudut matanya. Hanya karena dia lelaki, maka bulir bening itu sekuat tenaga dia cegah untuk jatuh.

Ya Allah ... Ampuni aku ...

Hamdani begitu ngeri melihat dirinya sendiri sekarang. Bermula dari keisengannya mengundi nasib di Lotto, dia hampir saja melakukan dosa yang tidak terampuni; syirik! Undi nasib saja sudah haram. Itu pun sudah ia rasakan menghancurkan hidupnya secara perlahan. Kehilangan teman, karena mulai asyik dengan diri sendiri merumus angka-angka, kehilangan emak karena setiap kali hendak menelepon, dia selalu takut ditanyai apa yang dilakukannya. Dia tahu tidak bisa berbohong pada emak. Hamdani menenggelamkan wajah dalam kedua telapak tangannya. Dadanya naik turun gelisah.

”Aku sudah selesai. Ayo kita ke kios sekarang,” ajak Chen.

Setan masih berjaya atas nurani Hamdani. Meski sudah hampir menangis sewaktu di depan kuil, dia tetap saja memasang angka taruhan di kupon Lotto.

”Ini Lotto terakhirku, Chen.” Hamdani berucap tanpa maksud ingin didengar Chen.

***

Pagi masih buta, langit masih kelabu. Entah, mungkin seharusnya di timur sudah mulai semburat merah, namun mendung membuatnya berwarna kelabu merata. Hamdani terbangun oleh getar telepon selularnya. Ada pesan masuk.

Hamdani memaksa diri membuka matanya yang terasa amat berat. Pesan dari Chen rupanya. Ah, pasti nomor Lotto malam tadi isinya, batin Hamdani. Setengah sadar dia membaca deretan angka yang dikirim Chen. Namun seketika kesadaran penuh mengalir ke seluruh syaraf tubuhnya. Deretan angka itu bukan angka yang asing untuknya. Itu adalah angka pribadi yang sangat dihapalnya.

Semalam, ketika Chen bersemangat sekali membeli kupon, Hamdani justru malas-malasan. Beban perasaan yang ditanggungnya ketika sadar dirinya hampir tergelincir syirik membuat Hamdani tidak lagi peduli dengan segala teori rumusan Lotto yang dipelajarinya. Dia hanya menyebut tanggal lahir orang-orang terdekatnya secara urut ditambah tanggal bersejarah dalam hidupnya. Tanggal lahir Emak, Umi, dirinya sendiri, Maulana, lalu tanggal dirinya disunat, dan tanggal Maulana pergi ke surga.

Hamdani menebak undian itu dengan jitu. Entah berapa uang yang akan didapatnya nanti. Pasti jutaan NT Dollar. Uang sebanyak itu seharusnya membuat Hamdani gembira. Namun yang terjadi saat ini adalah, dia berkeringat dingin dan tergugu menahan tangis.

Kisah hidup di masa lalu berkelebat cepat melintasi ingatan Hamdani. Wajah emak berkali-kali muncul dan menghunjamkan pandangan yang membuat dia ciut. Sosok Maulana dengan kepala yang sangat besar juga seakan mencolok bola matanya. Wajah Umi, wajah seorang lelaki yang mungkin bapak, wajah tetangganya, wajah dirinya,sendiri ketika masih bocah.

Allah ... Allah ... Allah ... Ampuni aku. Aku tak akan mengambil uang itu. Terlalu berat pertanggungjawabanku nanti terhadap-Mu. Sungguh aku tak sanggup. Ampuni aku, Ya Allah ...”

Hamdani terjatuh dalam tangis yang tidak disembunyikannya sedikitpun.

***

Di luar mess, seorang lelaki bermata sipit sedang bicara dengan kawannya yang bermata lebar. Lelaki itu menyerahkan sebuah benda mengilat, dan sebuah amplop.

”Terserah akan kamu apakan orang Indonesia yang punya kupon itu. Aku hanya ingin kuponnya,” bisik suara seraknya.

Mereka berdua bersalaman dan berpisah. Yang satu menjauhi mess pabrik, yang lainnya masuk.

Matahari benar-benar tidak muncul sampai waktu seharusnya dia sudah setinggi tombak. Jam kerja pabrik akan mulai tiga puluh menit lagi. Hamdani terlihat rapi di dalam kamar yang sepi. Diraihnya selembar sajadah dari sandaran kursi dan digelarnya dengan khidmat. Dua rakaat Dhuha ingin ditunaikannya.

Diam-diam, dibelakang Hamdani, lelaki bermata lebar yang membawa benda mengilat mendekat ...

TAMAT
***000***

Footnote:

~Cimplukan : Buah lentera. Tanaman liar yang berbuah seperti tomat kecil dan terbungkus kulit tipis yang mengembung seperti lentera.
~Hydrocephalus: kondisi medis di mana ada akumulasi abnormal cairan cerebrospinal (CSF) dalam theventricles, atau rongga dari otak.
~Ngasag: mengais sisa bulir padi yang tidak terproses mesin perontok atau sudah tidak diambil pemiliknya.
~”Hao le ma?”: (bahasa Mandarin) Sudahkah?
~”Hao. Hao le”: (bahasa Mandarin) Baik. Sudah.
~Lotto: Sport Lottery, undian angka yang diselenggarakan bebas dan resmi di Taiwan.
~Chow Tofu: Tahu bau. Makanan khas Taiwan.

※Cerpen ini adalah salah satu tulisan dalam buku kumpulan cerpen ILUSI MALAHAYU※

Wednesday, September 24, 2014

KISAH YE FENG DAN CARLOS

Cerpen ini mendapat MERIT AWARD dalam sebuah kompetisi menulis untuk imigran dari 4 negara yang diselenggarakan oleh pemerintah Taiwan
"TAIWAN LITERATURE AWARD FOR MIGRANT 2014"
~~~~~~~~~

KISAH YE FENG DAN CARLOS

Ye Feng kegirangan bercanda dengan Carlos, seekor anjing peranakan Akita yang berbulu lebat berwarna putih dan coklat keemasan. Ye Feng yang pendek gempal tampak lucu bergelut dengan Carlos yang besarnya hampir sama. Tawanya riang, disela oleh salak Carlos yang nyaring. Mereka berkejaran, bergulingan, dan berpelukan seperti sepasang bocah kecil.

Aku pekerja rumah tangga keluarga Wu yang tinggal di dekat pelabuhan, daerah Yilan. Perkerjaan utamaku mengurus seorang lansia, Ibu Tuan Wu, yang sebenarnya sehat, namun karena usianya hampir 100 tahun, maka apapun yang dilakukannya selalu butuh dibantu. Tugaskulah membantu segala keperluan Ama, begitu kami memanggilnya. Namun aku tetap harus melakukan pekerjaan bersih-bersih dan mamasak.

Keluarga Wu sangat baik. Tuan dan Nyonya bekerja setiap hari.  Ye Feng-anak sulung mereka, pemuda usia 26 tahun ini adalah seorang lelaki dewasa yang terjebak dalam alam pikir anak kecil. Badannya gemuk gempal, dan wajahnya bulat kekanakan. Lidahnya seolah selalu tergigit, hingga bicaranya kurang jelas dan selalu berliur. Ye Feng menyandang Down Syndrome. Meski begitu, dia tidak tergantung pada orang lain. Dia bisa melayani dirinya sendiri dan tidak merepotkan. Sedangkan adiknya, Zhi Chen, tengah menjalani wajib militer.

Keluarga ini memelihara dua ekor anjing. Seekor yang berjenis Akita bernama Carlos. Inilah anjing kesayangan Ye Feng. Menurut cerita Ama, Ye Feng memiliki Carlos sejak usia 12 tahun. Jadi saat ini Carlos sudah sangat tua untuk ukuran anjing Akita, yaitu 14 tahun. Selama itu pula Ye Feng dan Carlos menjadi sahabat tak terpisahkan. Kulihat banyak foto keluarga, hampir seluruhnya terdapat Carlos di dalamnya. Dari ketika masih bisa digendong Ye Feng, sampai hampir sama besar dengan badan tuannya.

Satu lagi anjing Dobberman bernama Champion yang terlihat garang, namun ternyata sangat bersahabat dan sopan. Champion tidak pernah mengganggu ketika aku membersihkan kandangnya. Begitu pula ketika Tuan memberinya makan, Champion akan menunggu dengan tenang.

~~~~~~~

Pagi yang sepi, aku sudah terbangun untuk menyiapkan sarapan bagi keluarga Wu. Aku bekerja di dapur dalam suasana hening. Semua masih terlelap. Pagi sejuk memang sangat nyaman untuk tidur, bahkan untuk anjing sekalipun.

Namun dari arah kandang anjing aku mendengar erangan seperti suara anjing yang kesakitan. Karena penasaran, kuintip kandang yang berbentuk rumah kecil. Aku melihat Champion melingkar tenang. Ketika kulongok kandang Carlos, aku terkejut sekali ...

”Carlos! Kamu kenapa?” Tanpa sadar aku memekik.

Kulihat darah bececeran di alas kain tempat Carlos berbaring. Posisi Carlos miring dengan kaki lurus. Matanya terbuka sayu. Aku panik tapi tak berani menyentuhnya. Maka aku berlari menuju kamar Tuan dan Nyonya.

Kuketuk pelan pintu kamar. Aku gugup sekali. Mungkin wajahku pucat. Entahlah, aku hanya merasakan bibirku kaku dan lidahku kelu. Nyonya membuka pintu pelan.

”Ada apa?” tanya Nyonya.
”Carlos ... Carlos ... Berdarah,” terbata-bata aku berusaha menjelaskan.

Nyonya sigap beranjak ke kandang Carlos. Setelah melihat dan menyentuh badan Carlos, Nyonya berteriak memanggil suaminya. Karena teriakan itu, bukan hanya Tuan yang tergopoh-gopoh keluar kamar, Ye Feng juga terlihat berlari terburu-buru mendekat. Dan demi melihat keadaan Carlos, Ye Feng langsung berteriak menubruk tubuh Carlos yang terbaring lemas di atas ceceran darah. Dia menangis sejadi-jadinya.

Aku segera teringat Ama yang pasti terbangun oleh kegaduhan ini. Kuhampiri kamar yang kami tempati berdua. Belum sempat kubuka pintu, Ama sudah tertatih-tatih keluar dari kamar. Kuraih tangan Ama dan kutuntun. Aku jelaskan bahwa Carlos berdarah, tapi aku tak tahu kenapa. Ama tampak sangat cemas dan berusaha ikut melihat Carlos di kandangnya.

Kulihat Tuan dan Ye Feng mengangkat tubuh besar Carlos dan membaringkannya di sofa panjang yang telah dilapisi kain tebal oleh Nyonya. Mereka semua terlihat cemas. Bahkan Ye Feng terus menangis dan menyebut-nyebut nama Carlos tanpa henti. Champion ikut bangun dan hilir mudik sambil sesekali menyalak seakan bertanya apa yang terjadi.

Veterinarian, atau dokter hewan datang karena ditelepon oleh Tuan.
”Mungkin distemper,” kata sang dokter setelah memeriksa Carlos.

Carlos buang kotoran berupa darah segar. Dokter menganjurkan untuk membawa Carlos ke klinik hewan dan menjalani pengobatan. Ye Feng melarang dokter maupun Tuan membantunya mengangkat Carlos ke dalam mobil. Pemuda gempal itu berusaha sendiri susah payah membopong anjing besarnya. Kulihat Nyonya dan Ama menyusut butir bening yang mengalir di ujung mata.

~~~~~~~

Sudah dua bulan sejak kejadian itu, suasana rumah berubah. Keceriaan berkurang karena Ye Feng dan Carlos yang terbiasa membuat gaduh dengan bermain-main bersama, kini lebih banyak diam. Carlos memang sudah sehat, namun tidak sepenuhnya kembali seperti semula. Kini Carlos menjadi lamban. Dia tidak lagi senang berkejaran dan bergulingan seperti dulu. Ajakan Ye Feng bermain lempar tongkat atau bola kerap diabaikannya. Dia lebih banyak duduk atau berbaring saja melihat Ye Feng bermain dengan Champion.

Dokter hewan pun masih kerap berkunjung untuk memeriksa Carlos. Terkadang aku mencuri dengar obrolan dokter dengan Tuan tentang keadaan anjing itu.

”Carlos sudah sangat tua. Dia sudah melewati rata-rata usia hidup anjing Akita. Jantung Carlos bermasalah, pencernaannya juga. Jadi beri dia makanan sesuai yang saya rekomendasikan,” ucap sang dokter.

Ye Feng yang selalu ikut mendengarkan benar-benar menuruti nasehat dokter. Dia membuat sendiri catatan jadwal minum obat dan pemberian makan untuk Carlos dengan tulisan tangannya yang seperti cakar ayam. Hanya dia sendiri yang mengerti tulisan itu, Tuan dan Nyonya selalu mengernyitkan dahi saat berusaha membaca catatan Ye Feng.

Hingga suatu sore, wajah dokter teramat sedih sehabis memeriksa Carlos yang kini semakin kurus. Dia berbicara pada Tuan Wu dengan suara pelan.

”Euthanasia bisa menjadi pilihan untuk mengakhiri penderitaan Carlos,” bisik sang dokter.

Aku yang habis menghidangkan teh dan kue melihat Ye Feng mengendap-endap mengintip dan menguping di balik pintu. Ketika kutepuk pundaknya, Ye Feng terlonjak kaget. Dia menempelkan telunjuk di bibirnya menyuruhku diam. Lalu tangannya mengibas-ibas menyuruhku pergi.

Setelah itu keadaan jadi serba kikuk dan canggung. Tuan dan Nyonya jadi sering melamun. Ye Feng juga seperti orang bingung.

Suasana membingungkan ini mencair dengan kepulangan Zhi Chen, adik Ye Feng. Mereka berempat berpeluk-pelukan dan saling berebut cerita. Ama juga tergopoh-gopoh menghampiri cucunya yang berperawakan tinggi besar itu. Tak ketinggalan Champion ikut melonjak-lonjak gembira menyambut tuan mudanya. Aku kebagian sapaan hangat dan permintaan untuk membuatkan mi kuah dari Zhi Chen yang kelaparan.

Ketika mi kuah sudah siap, aku melihat Ye Feng dan Zhi Chen sedang bersimpuh berpelukan di samping Carlos yang terbaring lemah di sofa panjang. Zhi Chen menangis. Tiba-tiba mataku memanas lalu berembun. Apalagi ketika kusaksikan Ye Feng yang seharusnya paling sedih karena anjing kesayangannya sakit, malah menepuk-nepuk pundak menenangkan Zhi Chen.

”Carlos pasti sembuh. Aku selalu memberinya obat,” ucap Ye Feng terbata-bata.

”Kakak, mi kuah sudah siap. Silakan dinikmati,” ucapku sopan.
”Terima kasih, Aling,” sahut Zhi Chen.

Pemuda gagah itu makan dengan mata masih terus berair. Aku jadi terharu. Apalagi ketika kulihat Ye Feng bersimpuh mengelus-elus Carlos sambil bernyanyi pelan seperti ingin menina-bobokan anjing kesayangannya itu.

~~~~~~~

Setiap hari akulah yang pertama bangun tidur, lalu membuka semua jendela dan pintu. Tapi pagi ini aku sangat terkejut karena pintu depan dan gerbang sudah terbuka. Tidak mungkin Tuan lupa mengunci. Hilir mudik kuperiksa pintu dan jendela yang lain. Semua masih terkunci kecuali dua pintu itu. Pencuri? Ah, mustahil. Aku tak mendengar salak anjing semalam.

Oh ya, anjing! Segera kuperiksa kandang mereka. Champion masih mendengkur tapi Carlos tidak ada di kandangnya, juga di atas sofa panjang. Kemana anjing itu? Mungkinkah dibawa Ye Feng tidur di kamarnya?

Ketika kulongok kamar Ye Feng, aku benar-benar panik dan kuatir. Ternyata dia tidak ada. Lemari pakaiannya berantakan, dan air masih mengucur dari kran wastafel. Ye Feng dan Carlos hilang!

”Tuan ... Nyonya ... Kakak Ye Feng dan Carlos hilang!” Dengan panik kuketuk kamar Tuan sambil berseru.

Setelah itu rumah menjadi gaduh. Tuan dan Nyonya hilir mudik memeriksa seluruh bagian rumah. Zhi Chen membawa Champion keluar berkeliling di jalan sekitar sampai ke pelabuhan mencari Ye Feng. Nenek yang gemetar ikut melongok-longok sambil memanggil nama Ye Feng berkali-kali. Semua panik.

Seharian penuh kami sibuk mencari Ye Feng dan Carlos. Kuceritakan semua yang kulihat di pagi hari pada polisi yang dipanggil Tuan. Aku tetap bekerja menyiapkan makanan, namun tak disentuh sedikitpun oleh mereka, kecuali Ama yang kupaksa dengan kusuapi pelan-pelan. Zhi Chen sibuk menelepon dan menghubungi kawan-kawannya. Dia menyebar foto Ye Feng dan Carlos lewat media sosial.

”Aling, kamu punya banyak kawan di Taiwan, bukan? Bantu aku menyebar foto kakakku, siapa tahu kawanmu ada yang melihat,” pinta Zhi Chen.

Aku melakukannya dengan dada bergemuruh. Sungguh, aku merasakan kekalutan keluarga Wu.

~~~~~~~

Lima hari sudah Ye Feng dan Carlos menghilang. Beberapa kali kami mendapat informasi yang samar-samar dan tidak pasti, lalu Tuan dan Zhi Chen pasti akan segera menuju tempat itu meski jauh di luar kota. Namun semuanya masih nihil.

Di hari keenam, aku mendapat informasi dari seorang kawan. Dia mengirimiku sebuah foto kecil yang tidak begitu jelas. Dalam foto itu tampak seorang lelaki gemuk pendek sedang tidur melingkar memeluk anjing di antara tumpukan patung, boneka dan topeng naga untuk pertunjukan. Kutunjukan pada Zhi Chen dan kuberitahu lokasinya, yaitu di sebuah kuil kecil dekat pasar di daerah Wen Shan, Taipei.

”Hubungi temanmu itu, pastikan Ye Feng masih ada di sana. Ayo, kamu ikut kami ke sana!” pinta Tuan.
”Tapi, bagaimana dengan Ama?” aku bertanya ragu. Bagaimanapun Ama tetap menjadi tanggung jawabku.
”Aku ikut menjemput Ye Feng,” kata Ama.

Perjalanan ke Wen Shan makan waktu hampir dua jam. Ketika akhirnya kami sampai di dekat pasar, hari sudah sore. Pasar kecil ini sudah sepi sehingga mobil kami bisa masuk lebih dekat ke kuil. Kami hanya bertemu orang yang sedang menyapu di jalan dekat gerbang kuil.

”Maaf, Tuan, apakah anda melihat orang ini dan anjingnya?” tanya Zhi Chen sopan sambil mengulurkan selembar foto.

Orang itu berhenti menyapu dan meraih foto itu.

”Oh, dia ada di dalam kuil sedang berdoa. Sudah empat hari dia numpang tidur di gudang tempat pertunjukan itu. Setiap pagi, siang, sore, malam, dia selalu sembahyang dan menitipkan anjingnya padaku. Kadang dia gendong anjing besarnya masuk kuil untuk berdoa bersama. Itu, sekarang dia bersama anjingnya di dalam.” Si Tukang Sapu bercerita dengan wajah sedih.

Lalu kami beriringan masuk ke komplek kuil. Di altar sembahyang kami melihat Ye Feng berlutut sambil membungkuk dan memegang hio berasap yang ditempelkan ke dahinya. Di sampingnya terbaring Carlos yang semakin kurus.

Seperti tak menyadari kehadiran kami, Ye Feng terus berdoa dengan suara agak keras namun tersendat-sendat.

”Dewa, aku tidak tahu yang terjadi, tapi aku merasa ada yang hendak mengambil Carlos dariku. Bila itu Engkau, maka tinggalkan jiwanya untuk terus menemaniku. Aku tidak suka dengan dokter yang dulu itu,”

Doa polos Ye Feng menguak semua misteri. Nyonya terisak tanpa bisa ditahan. Mendengar isakan itu, Ye Feng berhenti berdoa dan menoleh.

”Mau apa kalian? Jangan ambil Carlos!” seru Ye Feng sambil merengkuh Carlos yang terbaring lemas.

”Tidak, Nak. Tidak. Kami tidak akan mengambil Carlos darimu. Ayo kita pulang, kita obati Carlos sampai sembuh,” ucap Tuan.

Perlu beberapa waktu untuk benar-benar membuat Ye Feng mau menurut ikut pulang bersama kami. Zhi Chen membantu Ye Feng mengangkat Carlos ke dalam mobil. Zhi Chen yang mengemudi dan Tuan duduk di sampingnya. Bangku tengah ditempati Nyonya, Ye Feng dan Carlos. Di bangku belakang aku duduk bersama Ama, memangku tas kain bawaan Ye Feng. Beberapa helai baju Ye Feng tergulung bersama obat-obatan Carlos dan lembaran kertas berisi tulisan tangannya yang berantakan.

Baru saja kami hendak masuk jalan bebas hambatan, Ye Feng berkata dengan sangat tenang pada Nyonya,
”Mama, Carlos tidak bernapas,”

Kami semua terperanjat kaget. Zhi Chen langsung menepikan mobil ke bahu jalan dan membalik badannya berusaha menyentuh Carlos. Nyonya menangis tergugu membuat kami semua merasa pilu. Dan sebuah ironi kusaksikan di mobil yang terhenti di tepi jalan ramai.

Seharusnya Ye Feng menjadi orang yang paling bersedih karena kematian Carlos. Namun yang kulihat sungguh kebalikannya. Ye Feng adalah satu-satunya yang tersenyum tenang. Dia bahkan mengusap tangan keluarganya bergantian untuk menenangkan mereka. Akupun menangis kini, meski tak tahu alasan tepatnya untuk apa.

Rona jingga langit senja menjadi latar tumpahnya air mata keluarga Wu. Ratusan mil jauhnya dari tanah kelahiranku, Indonesia, aku menjalani peran dan saksi dari drama kehidupan yang mengharu biru. Aku belajar tentang persahabatan, kesetiaan, pengorbanan, doa, harapan, dan keikhlasan melepas kecintaan dari seorang pemuda istimewa dan anjingnya yang setia, Ye Feng dan Carlos.

~~~~~Tamat~~~~~~

Taipei, 16 April 2014

Keterangan:
Down Syndrome: Kelainan genetik yang menyebabkan terhambatnya perkembangan fisik dan mental (keterbelakangan)

Distemper: Penyakit pada hewan karena virus yang menyerang saluran pernapasan, pencernaan dan syaraf pusat. Dapat menyebabkan kematian.

Euthanasia: Menyuntikkan obat mematikan dengan tujuan membunuh tanpa menyiksa.

Monday, September 8, 2014

CINTA PERCUMA

Lelaki
Dia sudah tahu cintamu ada
bahkan rindumu juga
Lalu berharap diam-diam
bahkan tak terbisik dalam doa

Gadis
Dia tahu kau membuka pintu
bahkan senyumu juga
Lalu berkhayal samar-samar
bahkan tak tergambar dalam firasat

Apa sebenarnya yang kalian tunggu
Ranting kayu sudah melapuk
dan burung bangau beranak pinak
Mata air menyusut
Awan membuncah menyiramkan hujan
berkali-kali ke tanah perawan
Kalian masih termangu

Bila memang cinta telah ada
seharusnya bibir berkata
Bila pintu terbuka
seharusnya sapa terlontar

Tapi cinta yang begitu menggetarkan
lantas menjadi sia-sia
Karena kalian saling merasakan cinta
hanya dalam diam

SEPERTI BINTANG SENJA

Anakku sayang, Bunda sangat suka melihat Bintang Senja. Bintang paling cemerlang di langit barat yang terlihat setelah senja turun. Bunda selalu memandangnya dari serambi rumah setelah shalat magrib sambil menikmati susu untuk kita berdua.
Sudah 6 bulan engkau ada di perut Bunda. Engkau anak pertama yang sudah sejak lama Bunda inginkan hadirnya. Mengandungmu, memberikan kebahagiaan tak terhingga bagi Bunda dan Ayahmu.
Sebelum benihmu tumbuh, Bunda sudah menyiapkan tempat yang sehat untukmu. Bunda sudah tidak pernah begadang dan minum kopi lagi. Makanan Bunda juga selalu sehat. Dan Ayah selalu merokok jauh-jauh dari Bunda. Bahkan Bunda sudah mulai meminum susu Prenagen walaupun Bunda belum hamil.
Ketika benihmu sudah mulai hidup, Bunda semakin hati-hati menjaga kesehatan. Bunda ingin engkau tumbuh sehat dan nyaman, anakku... Memang sempat Bunda merasakan kembung dan mual yang agak menyiksa di awal kehamilan. Bunda selalu memuntahkan makanan padat yang sudah Bunda makan. Tapi Bunda tidak mau berhenti berusaha makan, demi engkau. Untunglah Bunda masih bisa menerima susu dan makanan cair. Bunda minum susu Prenagen secara teratur agar engkau tidak sampai kelaparan di perut Bunda.
Nak... Gaji Bunda memang tidak banyak, tapi itu cukup untuk membeli makanan sehat. Ayah juga selalu bisa menyisihkan keuntungannya berjualan setiap hari untuk membeli susu Prenagen secara teratur, satu dus demi satu dus. Kami ingin engkau selalu mendapat nutrisi yang cukup untuk tumbuh, terutama otakmu. Kami ingin engkau tumbuh cerdas dan cemerlang seperti Bintang Senja.
Dulu Bunda selalu naik angkutan pedesaan ketika berangkat bekerja. Tapi sejak mengandungmu, Ayah yang selalu mengantar Bunda dengan sepeda motornya. Engkau tahu kenapa? Karena jalan yang dilewati angkutan pedesaan itu terlalu banyak lubangnya. Kalau Bunda tetap naik itu, engkau akan terguncang-guncang setiap hari. Itu tidak baik. Sedangkan Ayah selalu memboncengkan Bunda dengan pelan dan hati-hati sekali. Ayah selalu bisa menghindari lubang di jalan sehingga Bunda bisa sampai ke tempat kerja tanpa terguncang-guncang terlalu banyak.
Bunda baca dari majalah, musik klasik bisa merangsang kecerdasanmu. Jadi sejak engkau mulai bergerak-gerak, Bunda kerap mendengarkan musik klasik dari CD pemberian teman Bunda. Tapi Bunda kadang merasa bosan, Sayang... Jadi sering juga Bunda selingi dengan mendengarkan gending Jawa. Itu juga musik klasik. Dan mungkin saja bisa merangsang kecerdasanmu.
Tapi tidak hanya itu. Bunda ingin engkau juga memiliki kecerdasan spiritual. Tiap hari Bunda baca dan perdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an untukmu.
Dari semuanya, yang tepenting adalah asupan nutrisi yang cukup untuk badan dan otakmu. Susu Prenagen memberi nutrisi yang lengkap. Terutama DHA untuk membangun otakmu. Itulah kenapa Bunda dan Ayah selalu berusaha membeli susu Prenagen dengan teratur, seperti apapun keadaan keuangan kami. Alhamdulillah, vitamin, kalsium, dan tablet tambah darah bisa Bunda dapatkan dengan gratis di puskesmas. Semua itu untukmu, anakku sayang....
Lihat, Nak... Senja sudah turun. Bintang Senja sudah bersinar cemerlang di langit barat. Ini susu Prenagen untuk Bunda, dan untukmu. Semoga kelak engkau terlahir dengan sehat, tumbuh menjadi anak yang cerdas dan cemerlang seperti Bintang Senja.

※Tulisan ini memenangi Essay contest Prenagen & Ayah Bunda pada th. 2007

TARIAN SEKUNTUM KAMBOJA

Sehelai daun kamboja melayang bersama sekuntum bunganya yang berputar seperti baling-baling. Kemudian jatuh ke tanah...

Aku menyukai bunga kamboja. Walaupun orang menyebutnya bunga kematian, tapi aku tetap menyukainya walaupun aku belum ingin mati. Ada suasana magis yang selalu aku rasakan ketika kupetik sekuntum, dan kusunting di sela telingaku. Semerbaknya mengalunkan aroma khayangan. Apalagi ketika Made yang menyuntingkannya. Senyum lembut yang terbingkai oleh rahang kokohnya membuatku selalu merasa aman bila bersamanya.

Made, kekasih hatiku. Seorang pemuda pendiam yang lebih senang mengutak-atik kameranya dari pada melakukan kegiatan lainnya. Ia memang seorang fotografer yang masih tetap sekolah fotografi di Denpasar sambil menjadi tukang foto di studio kecil di tepi danau Beratan.Aku sendiri masih duduk di tahun terakhir sebuah SMU di Ulun Danu. Aku tinggal di tepi danau Beratan bersama nenek yang mengelola sebuah penginapan kecil. Orang tuaku ada di Denpasar. Dan aku boleh berbangga dengan kemampuanku menari. Seminggu sekali, yaitu di malam minggu, aku boleh menunjukan kemampuanku menari pada tamu-kebanyakan bule- yang menginap di penginapan nenek. Tiap malam minggu, kecuali bila musim ujian tiba, aku selalu jadi bintang diantara riuhnya tepukan mereka. Senyumku selalu terkembang. Bahagia sekali rasanya saat itu. Apalagi ketika membayangkan bahwa tepukan itu kudapatkan di sebuah negeri bersalju yang jauh dari dusun di tepian Beratan ini.

”Nanti kalau sudah lulus, kamu boleh pulang ke Denpasar, dan kamu harus kuliah di jurusan seni tari, agar cita-citamu menari di negeri bersalju terkabul,” Kata nenek ketika aku mulai memasuki ujian akhir.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Nenek membelai rambut panjangku, dan menyuntingkan sekuntum kamboja di telingaku.

****

Selesai ujian, aku seperti ’mengamuk’. Tiga minggu absen menari membuatku terlalu merindukan tepukan riuh tamu-tamu nenek itu. Aku menari tiap malam! Dan penginapan nenek jadi lebih banyak pengunjungnya. Ayahku sesekali berkunjung dan selalu memberi tepukan paling keras seusai aku menari.

Made juga menyaksikan penampilanku tiap malam. Kilatan cahaya blitz dari kameranya selalu menembakku setiap waktu. Dulu Made bilang, aku selalu jadi inspirasinya dalam memotret. Sering sekali aku disuruhnya menjadi model gratisan untuk eksperimen foto-fotonya. Dan hasil foto-foto itu selalu diserahkannya padaku, sebelum akhirnya dia memilih beberapa yang bagus untuk dicetak ganda, dan dipajang salah satunya di studio miliknya.

Ah, gara-gara Made, wajahku jadi dikenal banyak orang...

Dan selain Ayah dan Made, ada seorang turis Jepang yang menjadi penonton setiaku selama enam hari. Dia adalah Mr. Yamamori. Dia selalu duduk di ujung belakang, di kursi bar yang tinggi. Dan ketika tarianku usai, dia selalu menyempatkan diri mengejarku masuk ke kamar rias, hanya sekedar untuk menyalamiku.

”Siapa dia, Luh?” Tanya Made dengan nada cemburu.

Aku tersenyum.
”Hanya turis biasa,” Sahutku santai.

”Perhatian banget dia sama kamu, sih? Naksir kamu kali, Luh...”

”Ah. Enggak. Kemarin malam dia nawarin aku, ingin ikut ke Jepang apa enggak. Nanti aku bisa menari di hotelnya,”
”Trus kamu jawab apa?”

”Aku nggak jawab. Bahsa Inggrisku belum lancar,”

”Tapi kamu kepingin ke sana?”

Aku menunduk.
”Iya,” Jawabku pelan.

”Kamu teruskan kuliah saja dulu. Bekali dirimu dengan ilmu, hidup di luar negeri itu berat untuk gadis semuda kamu. Aku sih mendukung kalau memang kamu sudah siap. Tapi kalau sekarang, sebaiknya kamu jangan pergi, Luh...”

Aku terdiam. Setelah itu aku bergegas merapikan kainku. Aku harus menari lagi. Suara gamelan itu sudah memanggilku.

Aku tersenyum ketika Made menyuntingkan sekuntum kamboja di telinga kiriku.

Ketika menari, kulihat Mr. Yamamori berbincang dengan ayahku. Entah apa yang dibincangkan mereka, tapi dalam hatiku aku berharap, Mr. Yamamori membicarakan tawarannya padaku kemarin. Impianku sudah melambung tinggi ke Jepang, menari di hotel besar milik Mr. Yamamori...Dan mimpi ini membuatku tambah bersemangat menari.

******

Terima kasih ya, Tuhan! Impianku jadi nyata. Ayahku sendiri yang menyampaikan kabar gembira ini. Aku akan pergi ke Jepang! Dan aku tidak sendiri, ada satu penari dari Denpasar yang menyertaiku juga. Dia penari senior, dan ayahku kenal baik dengannya. Karena itulah ayah mengijinkan aku pergi.

Hanya nenek dan Made yang keberatan. Nenek menangis ketika kusampaikan kabar ini. Tentu beliau merasa kehilangan.

”Jegeg, kamu masih sangat muda. Hidup di rantau itu berat sekali...nenek kuatir,” Rintih nenek.

”Luh akan jaga diri, Nek. Lagipula Luh khan nggak sendiri. Kadek Sukasti akan menemani Luh,” Kataku sambil memeluk nenek.

Sedangkan Made melakukan protes dalam diamnya. Tak ada sepatah katapun yang dia ucapkan, apalagi kuntum bunga yang disuntingkan di telingaku. Ah, aku jadi merasa kesal. Kenapa sih, Made malah menghalangi cita-citaku menjadi penari yang bisa melalang buana? Akhirnya aku bersikap diam juga padanya.

********

Osaka adalah kota tua yang cantik. Geliat teknologi tak memudarkan eksotisme memori yang tersimpan dalam kesahajaan gedung-gedung tuanya.

Aku sudah mulai menari di hotel Mr. Yamamori. Hotel yang lumayan besar. Sambutan tamu di sini lumayan, walaupun bila dibandingkan dengan di penginapan nenek di tepi Beratan, jauh lebih sepi. Aku menari dengan iringan suara gamelan dari perangkat audio, bukan gamelan hidup seperti di Bali.

Setelah sebulan, aku sudah mulai bosan menari dengan cara seperti ini. Aku merindukan gamelan hidup yang kadang ditingkahi celoteh nayaga. Aku merindukan nenek, ibu, ayah, Made...Aku ingin pulang....Hidupku sepi di sini. Kadek Sukasti kerap tak pulang ke kamar kami di salah satu kamar hotel Mr. Yamamori. Dia harus menari di lain tempat pula. Kadang bahkan sampai ke Kyoto, atau ke Kobe.

Satu-satunya hiburanku di sini hanyalah sebatang pohon kamboja Jepang yang tumbuh di tepi kolam renang di belakang hotel. Bunga kecilnya yang berwarna merah jambu sedikit bisa menggantikan kerinduanku pada kambojaku yang putih dan lebar. Semerbaknya juga berbeda.
Berbicara melalui telepon dengan keluargaku hanya membuat rinduku semakin tebal saja. Akhirnya kupilih mengirimkan kartu pos dan surat elektronik saja pada mereka. Made kukirimi sebuah kartu pos yang bergambar kamera Nikon. Mungkin dengan seperti ini, aku bisa meminta maaf padanya atas kelakuanku yang keras kepala ketika akan berangkat ke sini.

Di bulan kedua, kami, aku dan Kadek Sukasti, melakukan perjalanan panjang dari Osaka, ke Kyoto kemudian berlanjut ke Nagoya untuk menari. Dan ternyata ini harus berlanjut lagi ke Yokohama, dan akhirnya ke Tokyo.
Di Tokyo inilah kami diam untuk waktu yang lama. Menari untuk satu hotel besar, tapi pengunjungnya tak memberikan sambutan yang riuh pada kami. Bahkan ketika menyaksikan kami menari, kebanyakan dari mereka malah asik berbincang dengan rekan, atau mengutak-atik multimedia yang mereka genggam.Tokyo kota yang amat sibuk. Semuanya berjalan amat cepat, kecuali hari-hariku yang terasa amat lambat. Sebulan di Tokyo membuatku amat bosan. Kadek Sukasti kerap mengajakku keluar, tapi aku tak suka hiruk pikuk kota yang bising. Aku jadi rindu suasana tepian danau Beratan yang hening. Aku rindu bunga kamboja, aku rindu pada nenek, ayah, ibu...aku rindu pada Made.

Kesepian ini tambah senyap ditengah bising kota yang kudengar dari kamarku dilantai 16, karena Kadek Sukasti selalu keluar malam hari seusai menari. Aku sendirian.Akhirnya aku memutuskan untuk menelpon nenek di Indonesia.

”Nenek....Luh rindu. Luh ingin pulang, Nek...” Isakku sendiri pada dering telepon yang tak terjawab.

Kudengar kunci pintu seperti dibuka dari luar. Ah, itu mungkin Kadek Sukasti yang baru pulang. Aku biarkan saja, dan aku tetap tenggelam dalam tangisku.

”Kamu menangis?”

Suara laki-laki!!!

Ah, ini Mr. Yamamori. Cepat-cepat kuseka airmataku, dan duduk menunduk di hadapannya. Mr. Yamamori memegang pundakku dalam diam.

”Aku ingin pulang,” Kataku terbata-bata.Satu lagi airmataku jatuh...

”Kamu akan segera pulang,” Jawabnya.

Sejenak aku ingin tersenyum. Tapi kemudian keinginan itu sirna ketika kurasakan tangan Mr. Yamamori mulai meraba wajah, leher, pundak...dan turun ke dadaku.

Aku tersentak dan berontak. Mr. Yamamori mulai kurang ajar padaku! Aku melenting mundur, tapi Mr. Yamamori mencengkeram lengan kecilku dengan keras. Dia mulai menciumi wajahku, mendekap tubuhku dengan paksa, dan akhirnya menghempaskan aku di atas tempat tidur.

Aku berusaha berontak dan berteriak. Namun kekuatanku tak seberapa dibanding kekuatan Mr. Yamamori yang sudah kemasukan setan. Entah berapa tamparan mendarat di pipiku. Dengan sisa-sisa kekuatan kuraih lampu duduk di meja sebelah tempat tidur. Kuhantamkan ke kepalanya. Mr. Yamamori berteriak kesakitan, kepalanya berdarah. Nah, inilah kesempatanku untuk lari...Terseok-seok aku beranjak ke arah jendela. Kubuka kacanya, dan akhirnya aku kabur dari situ...

*****

Aku benar-benar pulang! Bahagia rasanya membayangkan pertemuanku dengan orang-orang tercinta. Nenek, ayah, ibu, dan Made tentu saja. Pasti mereka sudah menungguku di Bandara, siap memeluk dan menciumiku. Ah...aku benar-benar merindukan mereka.

Aku merindukan danau Beratan, kelopak dan semerbak kamboja, dan juga celotehan nayaga yang mengiringi aku menari dengan gamelan hidup.
Bandara riuh ketika pesawatku mendarat. Lorong demi lorong kulewati, sampai akhirnya aku melihat nenek, ayah, ibu dan Made menungguku.

”Neneeeek....”Aku berteriak kegirangan. Aku berlari menyongsong mereka. Ah, langkahku begitu ringan seperti melayang.

Kuserukan nama ibu dan ayah juga. Nama Made kubisikan saja, aku malu pada orang tuaku...Tapi...Hey, mengapa mereka tak menyambutku yang berlari dengan tangan terentang? Mengapa mereka tetap terdiam bagai patung? Nenek? Ibu? Mengapa mereka menangis? Kulihat ayah dan Made tetap terdiam tanpa tangis, tapi kulihat kedukaan mendalam di wajah keduanya.

Aku jadi heran. Sampai aku berdiri di antara mereka, mereka tetap terdiam. Mereka tak mempedulikan kehadiranku yang sarat rindu. Hmm...siapa yang mereka tunggu?

Akhirnya mereka berlari menyongsong ke arah pintu keluar. Tangis ibu dan nenek meledak keras. Ayah bahkan sekarang ikut-ikutan tersedu. Made tampak masih diam terpaku, tapi dua butir mutiara jatuh dari matanya. Semuanya menjadi jelas ketika sebuah peti mati didorong keluar oleh seorang petugas...

Pelan kulihat tubuhku...yang ternyata terawang tembus cahaya...Orang-orang menabrakku, tapi aku tak merasakannya. Akupun mampu menembus pandanganku ke dalam peti mati yang mereka peluk dalam tangis. Aku melihat jasadku tebujur kaku di sana...........

Sekarang aku mampu mengingat semua yang terjadi sebelum ini semua. Ketika Mr. Yamamori akan memperkosaku, dan aku punya kesempatan untuk lari, aku lupa kalau aku ada di lantai 16. Ketika kulompati jendela, tubuhku melayang jatuh seperti sebuah vas yang terhempas ke jalan beraspal...pecah berantakan...

Senja terasa amat dingin ketika jasadku dibawa pulang. Tak ada lagi kata-kata keluar dari mulut mereka. Akupun tak sanggup membuka mulutku, apalagi menceritakan semua pengalaman selama di Jepang. Diam, dan sunyi...

Namun tidak semua kebahagiaanku lenyap. Masih ada setitik bahagia ketika kulihat sekuntum kamboja terselip di antara jemari Made. Ah, itu pasti bunga yang seharusnya akan disuntingkan di telingaku.

Aku menyukai bunga kamboja. Walaupun orang menyebutnya bunga kematian, tapi aku tetap menyukainya walaupun aku belum ingin mati.

*******

※Telah dimuat majalah TIM International Taiwan, edisi Desember 2013

Friday, September 5, 2014

BAJINGAN SONTOLOYO [tanpa tanda seru (!!!)]

Hebohnya berita kemarin Pak Ahok bicara keras soal pejabat-pejabat DKI yang menurutnya adalah bajingan. Eh, bagus, dong! Atau jelek?
Ah, lepas dari yang pro maupun kontra, yang jelas saat itu nada Pak Ahok ketika mengucap kata "Bajingan" adalah negatif. Itu artinya, "Bajingan" yang dimaksudnya adalah buruk.

Tunggu dulu!
Benarkah "Bajingan" itu buruk?
Mari jalan-jalan ke masa lalu...

Dalam masyarakat Jawa, Bajingan adalah salah satu jenis profesi yang halal. Sangat berguna pula.
BAJINGAN adalah sebutan bagi orang yang berpekerjaan mengendalikan kereta atau gerobak sapi (kadang kerbau). Orang tersebut boleh jadi bukan pemilik kendaraan tersebut. Mungkin saja mereka adalah orang suruhan yang diupah juragannya.
Di masa lalu, gerobak sapi ini banyak digunakan untuk mengangkut hasil panen, sampai pindahan rumah. Serupa fungsi truk di jaman sekarang.

Satu kata "kasar" lain yang juga digunakan untuk mengumpat atau memaki saat ini adalah SONTOLOYO.
Tahukah kamu, SONTOLOYO juga adalah jenis profesi. Itu adalah sebutan untuk orang yang berpekerjaan sebagai penggembala bebek. Sontoloyo juga mungkin bukan pemilik bebek yang digembalakan itu. Dia bisa saja orang upahan juragan bebek.
Jumlah bebek yang digembalakan si Sontoloyo bisa berjumlah ratusan, bahkan ribuan. Dia akan membawa bebek-bebek itu berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain dalam jarak jauh. Kemudian mendirikan kemah darurat untuk istirahat dirinya dan para bebek. Biasanya Sontoloyo akan mencari ladang atau sawah yang habis dipanen, sehingga menyediakan pakan untuk bebek-bebeknya berupa sisa padi.

Naah, kalau sekarang orang memakai kata BAJINGAN dan SONTOLOYO ketika mengumpat, padahal mereka adalah para profesional di masa lalu, maka tidak mustahil di masa depan anak cucu kita akan mengumpat dengan kata "PROGRAMMER" atau "PILOT"

:D

Thursday, September 4, 2014

ISTRI BARU BAPAK

Aku tak sengaja mendengarnya. Percakapan pelan,  hampir serupa bisikan antara bapak dan ajudannya. Aku yakin ini bukan urusan pekerjaan, karena kami sedang berlibur ke pantai. 

”Gadis ini sungguh pintar, calon dokter dari UGM, Pak,” bisik Purnomo, ajudan bapak.
”Sesuai betul dengan keinginanku. Dari dulu aku memang ingin punya istri seorang dokter. Ibu malah seorang akuntan.” Bapak terkekeh-kekeh.

Mendidih darahku. Rupanya bapak bukan lelaki kekecualian. Beliau sama saja dengan lelaki lain yang terlena setelah mendapat jabatan. Dan yang melenakan bapak adalah seorang gadis calon dokter.

Pada pasir coklat terang di pantai Batu Karas ini kutumpahkan kekesalanku. Kilap dari bias ombak yang menciuminya, nampak menyilaukan di pagi hari. Kutinju dan kutendang kuat-kuat pasir yang membisu. Apa salah ibu? Teganya bapak menduakannya. Ibu adalah perempuan yang sangat setia. Beliau bahkan rela meninggalkan kariernya di perusahaan asing demi mendampingi bapak berdinas setelah terpilih menjadi bupati di Ciamis. Ibu cantik dan sangat lembut. Aku saja sampai bercita-cita ingin mencari gadis yang serupa ibuku untuk kuperistri. Atau setidaknya yang memiliki kelembutan seperti beliau.

~~~~~~

Dengan bekal sedikit informasi dari mencuri-curi dengar, aku pergi ke Jogja untuk menyelidiki siapa sebenarnya Dayu, gadis calon dokter yang akan diperistri bapak. Memang ini beresiko, karena data yang sangat tidak jelas. Aku hanya tahu, namanya Dayu dan dia akan lulus tahun ini dari Fakultas Kedokteran UGM. Akan sangat mungkin aku keliru orang. Tapi sudah kepalang basah, aku sudah di Jogja. 

”Cid, kamu harus mencari informasi sebanyak-banyaknya soal gadis itu. Aku hanya punya waktu sebulan sebelum kembali ke Perancis. Liburanku sudah habis,” ucapku pada Ocid, kawan SMA dulu yang sekarang kuliah di UGM.

”Berat juga, Har. Informasimu sangat minim. Ah, semoga saja Dayu itu nama asli, bukan hanya panggilan,” kata Ocid.

Kunyalakan telepon selular yang dari tadi kumatkan. Wah, banyak sekali panggilan yang masuk rupanya. Belum sempat kulihat nomor-nomor itu, telepon selularku berbunyi. Panggilan dari rumah.

”Assalamualaikum,” salamku.

”Waalaikumsalam. Kamu di mana? Kok dari pagi sudah tidak aktif? Bapak mau ajak kamu ke Cukang Tanueh, lho,” cecar suara ibuku dari Ciamis.

”Harlan di Jogja, Bu. Sedang menemui teman, si Ocid. Ibu ingat, bukan?” Aku tak bisa berbohong pada ibuku rupanya.

”Waduh, ke Jogja kok nggak ngomong dulu. Har, kamu ngomong sendiri, nih, sama bapak. Dari pagi bapak uring-uringan mencari kamu. Nih, Pak ...” Suara ibu menjauh.

”Sudah, ibu saja yang ngomong.” Kudengar suara bapak pelan.

Entah mengapa aku merasa seolah ada pendulum berayun-ayun memukuli dinding jantungku. Nyeri mendengar suara bapak.

~~~~~~

Cuaca dingin yang kutinggalkan di Perancis membuatku sangat menyukai matahari musim hujan di Jogja. Tadinya aku akan langsung pulang, namun Ocid ingin mengajakku ke pantai Drini. Aku belum pernah ke sana, maka aku penasaran. Ocid bilang pantai Drini sangat indah. Baiklah, aku pun perlu menyegarkan pikiran dengan jalan-jalan. 

Malam ini aku menginap di kamar kost Ocid yang sempit. Seharusnya aku juga bisa menikmati suasana malam di Jogja, namun hatiku seperti membeku. Dingin dan mati rasa. Tak ada hiburan apapun yang kuinginkan kali ini.

Karena tak tahu jalan, aku menurut saja diajak berputar-putar dulu oleh Ocid. Aku membonceng saja dengan tenang di motor butut ini.

”Kita muter ke Piyungan dulu, ya. Aku harus menyerahkan hard disk berisi data ini ke kawanku,” seru Ocid dengan suara berbaur angin.

Aku hanya mengacungkan jempol saja tanda setuju.

Pagi bermatahari di musim hujan, membingungkan. Sinar menyorot terang, namun awan hitam bergumpal kecil-kecil beriringan menimbulkan bayangan awan belang-belang di wajah bumi. Kami berkendara dengan kecepatan sedang, maka kentara sekali bayangan awan ini menimpa kami. Sesaat seperti mendung, namun sepelemparan batu jalan yang kami lalui terang benderang.

Ah, sialan! Ocid menyetir motor sambil menelepon. Sungguh berbahaya. Kutepuk-tepuk pundaknya untuk mengingatkan. Namun kawanku itu tetap menelepon.

Ciiiiiii...ttt!! Braakk!!!

Semua serba cepat. Aku bahkan tak melihat truk yang tiba-tiba saja menyenggol motor kami. Aku tidak pingsan, namun mataku berkunang-kunang. Kakiku nyeri luar biasa. Ocid entah di mana. Orang-orang ramai berdatangan dan menolongku. 

”Kawan saya, Pak ... Dia di mana?” Aku berucap sambil menutup mata, pusing luar biasa.

”Kawan Mase sudah ditolong. Ndak apa-apa, Mase ... Ini dekat puskesmas. Mase tenang, ya,” ucap seorang bapak yang menggotongku bersama dua orang lainnya.

Entah apa yang terjadi pada Ocid, aku tak tahu. Aku juga tidak sepenuhnya tahu keadaan diriku sendiri. Kesadaran masih kukuasai, namun kepalaku pusing sekali. Aku pasrah saja dirawat orang-orang di puskesmas ini, dan hampir sepanjang waktu aku hanya terpejam. Yang kutahu, aku ditangani oleh seorang perempuan, entah perawat entah dokter, yang mengenakan jilbab lebar.

~~~~~~

Rencanaku mencari tahu tentang Dayu di Jogja berantakan semua. Aku kecelakaan dan mau tidak mau harus pulang ke Ciamis. Tidak parah memang luka yang kuderita, namun cukup menyakitkan. Lutut, mata kaki, dan kelingking kaki kiri terbaret di aspal. Kulitnya mengelupas sampai hampir ke tulang. Bukan lagi darah yang keluar, melainkan juga beserta cairan bening kekuningan yang anyir.

Tapi dari peristiwa ini, aku jadi kenal Wastu, perawat cantik berjilbab lebar yang menanganiku saat itu. Wastu adalah dokter asal Pangandaran yang berdinas di puskesmas Piyungan. Aku jatuh cinta dengannya, pada pandangan pertama.

Dan karena kecelakaan ini pula bapak menertawakanku tiada henti sepanjang hari. Ibu juga, setiap kali melihatku, beliau tersenyum. Padahal aku sangat tahu, pasti beliau sedang berusaha mati-matian menahan tawa. Bagaimana tidak, bapak bisa menebak maksudku ke Jogja dengan sangat jitu.

”Kamu pasti hendak mencari Dayu. Iya, kan?” tebak bapak.

”Bapak tahu dari mana? Pokoknya Harlan tidak rela ibu diduakan,” kataku ketus.

”Dayu itu gadis yang baik. Bisa ibu andalkan untuk sesekali mendampingi bapak berdinas,” ucap ibuku.

Bagai disengat ribuan semut api, aku meradang.

”Lho? Ibu kok malah mendukung bapak berpoligami? Kalau ibu ingin meraih surga, carilah pintu yang lain, Bu. Poligami tidak akan membahagiakan keluarga kita,” sergahku.

Bapak dan ibu tertawa bersamaan. Aku jadi semakin jengkel.

”Apa sih, kamu ini. Siapa yang mau poligami? Dayu itu, gadis yang kami pilihkan untukmu, untuk menjadi istrimu.” Ibu berucap di sela tawanya.

”Usia sudah kepala tiga, jelajah sudah sampai Perancis segala, tapi tak seorang gadis pun kau kenalkan pada kami. Kami ingin kamu segera menikah, Har,” sambung bapak.

Pipiku mungkin memerah. Sungguh aku sangat jengah saat ini. Malu, senang, juga sedikit kesal, campur aduk jadi satu.

Dayu ... Seperti apa gadis itu? Dia terdengar begitu memesona kedua orang tuaku. Tak kupungkiri rasa penasaran ini, meski hatiku telah tercuri oleh Wastu.

~~~~~~

”Sudah bisa pakai sepatu?” tanya ibu.

Aku menganguk sambil mengelus luka yang sudah mengering.

”Nanti agak siang, kita ke Cilacap. Ke rumah Dayu,” sambung ibu sambil menepuk bahuku.

Dadaku berdesir. Aku merasa aneh dan bingung. Bayangan Wastu yang anggun mulai tersamar oleh sosok Dayu yang kureka-reka sendiri.

Pukul 11 siang kami bertiga berangkat dengan mobil kecil. Bapak menyetir, di sebelahnya duduk dengan anggun ibuku yang berbaju kurung. Aku duduk di belakang memangku dus besar berisi kue-kue untuk buah tangan.

Ketika melewati Pangandaran, pikiranku dipenuhi sosok Wastu yang hanya sekilas kukenal. Betapa konyolnya, aku bahkan tak bertanya di mana tepatnya rumah Wastu. Kota ini begitu luas. Kecil kemungkinan aku bisa menemuinya di sini, kecuali bila aku kembali ke Piyungan, ke klinik tempat Wastu bertugas.

Maka ketika keluar dari kota, melewati perbatasan propinsi Jawa Barat-Jawa Tengah, aku memutuskan untuk berpikir realistis. Mungkin tak ada salahnya menuruti skenario orang tuaku untuk masalah ini.

Meskipun tak sepenuhnya lega, namun ketika mobil kami masuk kota Cilacap dan terus melaju menuju daerah Perumahan Pegawai Pertamina, aku sudah bisa tersenyum dan membuka hati. Bersiap untuk bertemu seorang gadis yang mungkin kelak menjadi istriku.

Rumah di komplek ini tidak begitu mewah, namun terlihat asri. Halaman luas berumput Jepang, dengan palem botol dan bebungaan aneka warna membuat lingkungan ini teduh dan menyenangkan. Kami berhenti di depan rumah bercat hijau yang tak berpagar. Seorang lelaki paruh baya tampak sudah menunggu.

”Assalamualaikum,” sapa bapakku begitu turun dari mobil.

”Waalaikumsalam. Mari silakan masuk,” sahut lelaki itu ramah sambil menyalami kami.

Ketika melangkah ke teras, aku sangat terkejut ketika sekilas seperti melihat bayangan Dayu melintas di ruang tamu. Hampir saja kotak kue yang kutenteng jatuh. Cepat-cepat kusampaikan buah tangan itu pada nyonya rumah begitu beliau menyambut di ruang tamu. Kami dipersilakan duduk di kursi klasik yang elegan.

”Dayu, ini tamunya sudah datang. Ke sini, Nak,” seru perempuan anggun itu.

Seorang gadis berjilbab keluar dengan langkah mantap. Jantungku berdesir penasaran. Dan ketika kami bersitatap, dadaku serasa meledak.

”Lho?! Wastu?!” Seruku.

”Eh, lho?! Mas... Aduh siapa ya namanya, lupa. Mas yang jatuh di Piyungan, kan?” Sahut gadis itu.

Empat orang tua saling berpandangan melihat kami saling tunjuk-tunjukan. Lalu meledak tawa di ruang tamu itu.

”Wah, ha ha ha ... Ternyata kalian sudah saling kenal. Baguslah. Kami tidak perlu lagi ambil bagian dalam pertemuan kalian. Ha ha ha ...” Ayahku terkekeh.

”Oh, tidak, ini harus diluruskan. Ini Dayu dan Harlan kenal di mana, dan sedang apa?” Ayah Dayu bicara agak serius meski wajahnya diliputi senyum.

”Ehm, Wastu ... Eh, Dayu ini yang menolong saya sewaktu kecelakaan di Jogja. Kami hanya bertemu sekali itu saja, Pak,” jawabku agak grogi.

”Harlan itu ke Jogja buat cari Dayu sebetulnya. Tapi malah ketemu Wastu. Ha ha ha ...”  Bapakku masih terkekeh-kekeh. 

Tiga perempuan di ruangan ini juga saling tertawa dan berceloteh riang menanggapi kejadian tak terduga ini. Wajahku mungkin merah seperti udang rebus. Tapi aku bahagia melihat wajah Dayu alias Wastu yang juga tampak gembira.

Wastu Sedayu, gadis pilihan bapak yang tenyata juga adalah gadis yang telah merampas habis hatiku ketika bertemu di Puskesmas Piyungan. Keluarga mereka memang dari Pangandaran, namun Sang Ayah yang menjadi karyawan Pertamina mendapat fasilitas rumah dinas di Cilacap.

Entah bagaimana nanti cerita yang akan kami rajut. Namun segala rangkaian peristiwa yang menuntunku bertemu gadis ini mampu meyakinkan bahwa dia adalah jodohku.

※TAMAT※

Cerpen ini telah dimuat di Majalah TIM International (Taiwan) edisi September 2014

ARI-ARI

Suara pedagang ember menawarkan dagangannya mendominasi keramaian pasar pagi ini. Teriakan sumbang bersahutan dengan suara berisik ember yang diadu dengan gayung. Di sebelahnya, pedagang ikan tampak sibuk membersihkan sisik gurami yang sedang ditunggu pembelinya. Bapak tua dengan pikulan berisi periuk dan kendi tembikar tampak sedang bertransaksi dengan seorang ibu yang sangat bawel menawar. Pedagang sayur meletakan begitu saja dagangannya di tanah hanya beralaskan dus yang digelar. Sedangkan barang-barang kelontong dijual hanya di satu-satunya toko di pasar ini.

Aku berjualan daging sapi berjajar dengan pedagang daging ayam dan tahu tempe yang sama-sama hanya menggunakan meja berpayung. Ini pasar kecil di daerah pelosok yang untuk ke kota terdekat saja perlu waktu hampir satu jam berkendara. Kehidupan di daerah ini berjalan lambat namun penuh kedamaian.

Sebagai pedagang, aku merasa rugi melewatkan pelanggan yang satu ini. Seorang bidan ramah yang tidak pernah menawar daging dan jeroan yang hampir tiap hari dibelinya dariku. Seringkali dia memborong, bahkan memesan lagi untuk esok hari. Bila pembeli adalah raja, maka Bu Bidan ini adalah raja arif bijaksana dan murah hati. Selalu kulayani dengan senang hati. Sayang, modal yang kecil dan pembeli di daerah ini yang kurang potensial membuatku hanya mampu berjualan sedikit saja. Aku tidak memotong satu sapi sendiri, tapi hanya mengambil belasan kilo saja daging dari penjual besar di kota. Nah, pembeli seperti Bu Bidan inilah yang membuat modalku terus berputar.

”Maaf, Bu, hari ini saya tidak sedia jeroan,” ucapku penuh sesal.

”Waduh ... bagaimana ini? Di rumah sedang ada pasien hendak melahirkan, harus ada jeroan,” gumam Bu Bidan lirih seolah untuk dirinya sendiri.

”Kalau memang mendesak, bisa saya carikan ke kota, Bu. Nanti sekalian diantar ke tempat ibu,” tawarku.

”Oh, bagus itu. Tapi jangan kesorean, apalagi sampai malam,” ucapnya sambil membuka dompet menarik dua lembar uang biru dan langsung disodorkan padaku.

Wah, ini sih pemaksaan. Tapi pemaksaan yang menyenangkan.

”Baik, Bu,” sahutku gembira.

Saking gembiranya, tanpa diminta aku langsung membantu Bu Bidan mengangkat belanjaan ke becak. Banyak betul belanjanya. Selain sayuran, beliau juga membeli sekarung beras, setengah karung garam mentah, dan belasan kendi bertutup seukuran buah kelapa. Aku tahu, kendi ini adalah tempat untuk menyimpan ari-ari atau plasenta bayi. Dan garam mentahnya akan dimasukan bersama ari-ari, supaya saat membusuk jadi tidak berbau. Bu Bidan menyediakan karena tidak semua keluarga pasien siap sedia benda itu.

Bu Bidan bukan penduduk asli desa ini. Baru tiga tahun yang lalu dia membeli rumah milik orang kaya yang sekarang sudah pindah ke luar pulau. Dia membuka klinik bersalin, sekaligus klinik umum. Kami yang selama ini selalu kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, jadi merasa amat terbantu dengan kedatangannya. Apalagi Bu Bidan orang yang sangat baik. Dia kerap menggratiskan biaya pada pasien miskin yang datang ke kliniknya.

Tidak ada yang tahu keluarga Bu Bidan, karena dia tinggal sendirian. Meski begitu, rumah dan kliniknya selalu ramai, karena bidan dan tenaga medis dari kota kerap datang dan berpraktek di klinik itu.

~~~~~~~

Menunggu angkutan di terminal ini butuh kesabaran ekstra tinggi. Angkutan umum yang menghubungkan desa ini dengan kota terdekat hanya ada dua armada. Maka mereka akan saling bergantian jalan dan stand by di terminal.

Terminal? Ah, ini cuma tepian jalan dengan satu warung kopi dan beberapa bangku kayu panjang. Aktifitas di tempat ini berjalan amat lambat. Untung aku punya telepon selular. Aku sudah menghubungi pedagang daging di kota untuk menyediakan jeroan sapi.

”Ayo berangkat!” teriak kondektur yang bergelantungan di pintu mobil.

Kendaraan diesel ini terbatuk sedikit sebelum akhirnya bergerak pelan. Dari kejauhan tampak angkutan yang baru datang dari kota mulai mendekat. Tiba-tiba ada seorang ibu paruh baya berlari-lari sambil melambaikan tangan. Kondektur mengetuk atap mobil memberi kode supir untuk menghentikan mobil.

”Mari, Bu Nunik. Naik cepat,” serunya.

Seorang ibu gemuk tampak kerepotan naik. Keringat meleleh dan napas memburu karena tadi berlari-lari. Dia menuju jok kosong di sebelahku. Tubuhku yang kurus agak terangkat sedikit ketika dia menjatuhkan badannya.

”Untung sempat terkejar. Kalau tidak, saya bakal jalan kaki pulang. Anak saya tidak menjemput hari ini,” ucap Bu Nunik.
”Ibu kerja di rumah siapa, sih?” tanyaku pelan.
”Saya tukang masak di rumah Bu Bidan,”
”Oo ... Siang begini sudah pulang?”
”Memang saya kerja dari subuh sampai siang saja. Memasak untuk para bidan yang ada di sana, juga untuk pasien,”
”Ramai ya, Bu?”
”Ya, hampir setiap hari ada yang melahirkan di sana. Bu Bidan sungguh baik, sering mengratiskan pasien miskin. Dasarnya memang sudah kaya, sih. Itu bidan-bidan yang di sana biasanya juga pulang bareng saya. Baru nanti sore ada bidan ganti,”
”Tiap hari menunya lengkap ya, Bu? Daging sapi, kadang jeroan?”
”Saya tidak pernah masak jeroan. Tiap hari masak ayam, atau ikan. Pernah masak sapi, tapi hanya untuk Bu Bidan,”

Aku mengernyitkan dahi keheranan. Hampir tiap hari Bu Bidan membeli jeroan, tapi tukang masaknya tak pernah mengolahnya. Apa mungkin dimasak sendiri?

”Bu Bidan pintar masak juga ya, Bu? Mungkin daging dan jeroan sapi dimasak sendiri,” ucapku.
”Ha ha ha ... Bu Bidan tidak bisa memasak. Merebus air saja gosong.” Bu Nunik terkekeh-kekeh.
”Apa Bu Bidan punya hewan peliharaan? Anjing mungkin?” sambungku.
”Ah, tidak ada hewan di sana. Eh, kurang tahu juga, ya ... Di belakang ada ruangan yang tidak boleh didekati siapapun. Dari dapur sering kali terdengar seperti ada yang menggeram-geram. Tapi entahlah ...”

Bu Nunik turun di ujung jalan menuju rumahnya, meninggalkan bangku kosong yang busanya mulai bertonjolan keluar. Aku tak punya teman mengobrol lagi karena hampir semua penumpang terkantuk-kantuk.

Sesampainya di terminal kota, aku langsung bergegas mencari satu angkutan kota yang akan membawaku ke penjual daging sapi. Hanya sekitar lima menit saja sebenarnya aku naik angkutan ini. Kalau matahari tidak sedang panas-panasnya, berjalan kaki akan lebih menyenangkan. Berhemat pula.

”Semangat sekali, pak Didit. Waduh maaf ini, siang-siang saya mengganggu,” sapaku pada penjual daging yang sedang memotong-motong tulang menggunakan kampak kecil. Di situ ada juga seorang bapak tua yang membantu memasukan potongan tulang ke dalam karung.
”Wah, pak Khamim. Iya ini sedang menyelesaikan pekerjaan terakhir hari ini. Sambil menunggu sampeyan datang,” sahut pak Didit ramah.
”Saya juga buru-buru nih, Pak. Itu pesanan penting,”
”Saya ambil segera. Tunggu sebentar,”

Ketika pak Didit ke dalam, bapak tua yang membantunya itu bertanya,
”Apakah yang pesan jeroan itu seorang bidan?”

Aku terkejut.
”Lho, kok bapak tahu?”

”Apa namanya Bidan Rosma?” Dia bertanya lagi.
”Uhm, iya kalo tidak salah. Kami tidak memanggil nama beliau, hanya kami sebut sebagai Bu Bidan. Karena beliau satu-satunya bidan di desa kami,” jelasku.
”Kalau memang orang itu adalah Bidan Rosma, bapak sebaiknya hati-hati,”
”Ada apa dengan Bidan Rosma?”
”Aduh, tidak enak menceritakannya, karena semua ini hanya kemungkinan. Tidak ada bukti yang bisa ditunjukan. Diduga Bidan Rosma itu penganut aliran sesat. Dia mempunyai peliharaan mahluk astral, atau mungkin binatang buas sebagai pesugihan. Dia itu awalnya miskin lho, lalu kaya mendadak dengan penuh misteri,”
”Oh, ya? Lalu apa hubungannya dengan jeroan yang dibelinya dari saya?”
”Uhm ... Dia membeli jeroan, tapi pasti tak pernah dimasaknya. Coba tanya tukang masaknya. Mungkin jeroan itu yang diberikannya pada mahluk peliharaannya sebagai makanan. Entahlah, tak ada bukti. Hanya kekayaannya yang bertambah dengan tidak wajar itulah yang memancing kecurigaan kami,”

Aku membuka mulut ingin bertanya lagi. Namun urung, karena pak Didit keluar dengan sekantong besar jeroan yang kupesan. Ketika menerima jeroan, aku melirik jam dinding di atas pintu. Ah, waktu begitu cepat berlalu. Sebentar lagi sore, dan aku harus segera pulang.

Sambil berjalan kaki ke terminal, aku mencoba menghubungkan simpul-simpul khayal yang menjurai di otakku. Antara daging dan jeroan sapi yang selalu dibeli, bu Nunik yang tak pernah memasaknya, dan geraman yang didengarnya berasal dari ruang belakang. Lalu cerita Pak Tua yang membantu tukang daging. Pikiranku tergelitik penasaran. Apakah Bu Bidan memelihara harimau? Aih, pemikiran konyol!

~~~~~~~

Celaka!
Gara-gara aku ketinggalan angkutan terakhir, terpaksa aku harus menumpang truk pasir untuk pulang ke desa. Inipun sudah terlalu sore. Aku ingat pesan Bu Bidan agar jangan sampai kesorean, apalagi kemalamam. Tapi apa daya, aku tak sempat mengejar angkutan umum. Ditambah lagi, truk yang kutumpangi berbelok di pertigaan jauh dari jalan menuju rumah Bu Bidan.

Demi pelanggan yang terhormat, lintang pukang aku berlari agar lekas bisa menyampaikan pesanan. Langit yang mulai gelap menambah rusuh hatiku yang sudah sangat terburu-buru.

Rumah dan klinik bersalin itu mudah sekali dikenali. Sebuah gedung tua bercat putih yang letaknya agak terpisah dari perumahan warga. Bu Bidan tidak memasang pagar tinggi dan membuka halaman luasnya untuk bermain anak-anak. Namun area rumah induk terlihat sangat tertutup.

Beberapa orang tampak mondar-mandir di ruang tunggu klinik. Aku tidak melihat ada petugas, bahkan di meja pendaftaran sekalipun. Orang-orang itu mungkin keluarga pasien yang sedang melahirkan. Kulewati mereka menuju ruang lain yang terlihat terang benderang.

”Napas yang teratur, Bu ... Ya, huff... huff..., ikuti aba-aba saya.”
Kudengar suara Bu Bidan di antara suara perempuan yang terdengar kesakitan.

Aku mengetuk pintu yang setengah terbuka. Kulihat Bu Bidan bersama tiga orang bidan muda yang cantik sedang menangani seorang pasien. Meskipun berempat, yang bersuara hanya Bu Bidan saja. Tiga yang muda-muda bekerja dengan mulut tertutup rapat.

”Permisi, Bu. Ini jeroan pesanan ibu. Maaf sekali saya terlambat mengantar,” ucapku sopan sambil membungkuk.

”Bisa tolong ditaruh di dapur, Pak? Maaf ini tidak bisa ditinggal,” kata Bu Bidan sopan.

Bu Bidan lantas menunjuk ke arah belakang. Aku harus melewati semacam koridor untuk mencapai dapur yang ditunjuk Bu Bidan. Entah mengapa aku merinding di koridor ini. Lampunya remang-remang dan angin dingin dari belakang membuat bulu tengkukku berdiri.

Setelah meletakan bungkusan jeroan, aku celingak-celinguk sendiri. Iseng kulongok ke belakang dapur. Aku melihat sebuah ruang terpisah dengan pintu kayu yang tertutup. Mungkin itu ruangan yang diceritakan Bu Nunik tadi siang. Setelah memastikan tak ada yang melihatku di sini, aku melangkah mendekati ruangan itu.

Pintu kayu ini ternyata amat berat. Engselnya berdecit sewaktu kudorong pelan-pelan. Aku mengintip ke dalam ruangan dari celah pintu. Ternyata ruangan ini kosong melompong. Ubin putih tampak berdebu, dan tanpa penerangan. Cahaya yang masuk ruangan ini hanya berasal dari lampu di kebun yang menerobos lewat jendela kaca kecil di tengah dinding. Mungkin ini hanya gudang kosong.

Mengapa kata Bu Nunik ini tidak boleh didekati? Atau mungkin bukan ruang ini, mungkin ruang yang lain. Setelah agak lama melongok-longok bagian bangunan yang lain, aku memutuskan untuk kembali ke ruang depan menunggu Bu Bidan selesai, lalu menyampaikan kembalian uangnya.

Rupanya persalinan sudah selesai, aku mendengar tangis bayi dan beberapa suara lain. Mungkin keluarga pasien sudah diijinkan melihat bayinya.

Aduh, sialan! Baru saja langkahku sampai di dekat jendela dapur, aku melihat Bu Bidan berjalan terburu-buru ke dapur sambil mengangkat sebuah baskom stainless. Kurundukan kepala menghindar dari pengelihatan Bu Bidan. Posisiku di sudut gelap samping jendela membuatku bisa melihat ke dalam dapur tanpa diketahui oleh Bu Bidan. Aku melihat baskom stainless tadi ternyata berisi seonggok daging berdarah. Itu pasti plasenta bayi, alias ari-ari.

Bu Bidan membuka bungkusan jeroan. Dia memasukannya sebagian ke dalam kendi dan menimbunnya dengan garam. Setelah ditutup, dia membuat simpul dari tali lawe untuk membentuk gantungan pada kendi. Persis sama seperti memperlakukan ari-ari. Aku mengerjap-ngerjap memastikan bahwa yang tadi kulihat memang jeroan sapi, dan ari-arinya masih teronggok di baskom.

Dadaku berdebar dan tenggorokanku tercekat. Aku sungguh bingung dengan yang baru saja kusaksikan. Namun belum juga berhasil meredakan debar, aku kembali menyaksikan hal yang lebih aneh lagi.

”Hrrr... Ck... ck... ck.”

Bu Bidan mendecak pelan seperti memanggil binatang peliharaan. Namun yang datang menghampirinya adalah tiga bidan muda yang tadi membantu persalinan. Mereka berebut mengambil baskom berisi ari-ari dan segera membawanya ke ruang kosong berpintu kayu tadi.

Aku mulai berkeringat dingin. Jantungku berayun seperti pendulum membentur-bentur tulang iga. Kudengar samar dari dalam ruang itu suara geram dan seringai galak bersahutan. Binatang apa yang ada di dalam? Mengapa tadi aku tak melihatnya?

Rasa penasaran mengalahkan ketakutanku. Pelan kuhampiri pintu kayu yang terbuka separuh. Dan apa yang kulihat terjadi di dalam ruangan itu membuat jantungku seolah berhenti, darah lenyap dari mukaku, dan sendi gerakku semua kaku.

Tiga bidan muda telah berlumuran darah di mukanya. Wajah-wajah mereka berubah mengerikan, bermoncong dengan gigi-gigi runcing. Tubuh mereka, yang tetap seperti umumnya tubuh perempuan, bergerak liar berebut ari-ari dalam baskom yang kini sudah cabik-cabik. Makhluk apa mereka ini?

BUKK!!!

Hanya sesaat sebelum pandanganku gelap, samar kulihat Bu Bidan di belakangku memegang wajan teflon yang terayun.

~~~TAMAT~~~

Cerpen ini telah dimuat di Majalah Holiday (Taiwan & Hongkong) edisi Juli dan Agustus 2014.

SAMBAL KOBOI

Semua ini demi cita-cita mewujudkan impian bapak dan emak, dan menghargai segala jerih payah mbak Nur bekerja menjadi pembantu di Taiwan. Aku harus menjadi sarjana tahun ini. Harus!

Bapak dan emak adalah orang desa yang tak berpendidikan. Hidup serba pas-pasan pula. Namun mereka punya cita-cita tinggi untuk anak-anaknya. Mereka ingin suatu saat melihat kami memakai toga sarjana. Sebuah keinginan mulia yang membuat mereka rela pontang-panting mencari nafkah demi sekolah kami.

”Dul, sepertinya aku menyerah saja. Cukup sampai SMA saja sekolahku. Terlalu berat untuk bapak dan emak kalau harus membiayai kita berdua. Kamu saja yang kuliah nanti, ya. Aku bekerja saja untuk membantu biayanya.” Itulah kata-kata mbak Nur tiga tahun yang lalu ketika baru lulus SMA.

Setelah itu mbak Nur berusaha melamar pekerjaan apa saja. Namun ijazah SMA hanya membawanya bekerja sebagai pelayan rumah makan. Untuk sementara, gaji mbak Nur memang masih cukup membantu biaya sekolahku di SMA, bahkan di tahun pertama kuliahku juga. Tapi semakin lama biaya kuliah semakin bertambah. Mau tidak mau mbak Nur harus berusaha lebih keras lagi. Dan akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari rumah makan, kemudian mendaftar bekerja sebagai pembantu di Taiwan.

Hidupku juga serba prihatin. Kuliah di kampus ini tidak murah. Bantuan dari mbak Nur hanya bisa untuk membayar biaya kuliah. Sedangkan untuk keperluan sehari-hari harus kucari sendiri. Ini tidaklah ringan, apalagi aku anak kost, yang meskipun hanya kost di tempat sederhana, namun tetap saja harus membayar. Kecuali, mungkin, bila aku bisa memperistri anak ibu kost. Tampangku lumayan, tidak ’nyungsep’ bila disandingkan dengan Dude Herlino. Aku pekerja keras, rajin sembahyang, dan tidak merokok. Pokoknya aku, Abdulloh Amir, adalah sosok mantu idaman. Namun sayang, anak-anak ibu kost lelaki semua.

Soal mata kuliah dan kejar-kejaran SKS, itu bisa kuatasi dengan mudah. Tapi soal mencari uang, ternyata bukan perkara yang gampang kupecahkan. Sulit mencari tempat kerja yang klop dengan jadwal kuliah tapi bergaji besar. Bilapun ada yang cocok waktunya, bergaji besar pula, maka tempat itu ternyata hanya menerima yang sudah sarjana. Ah, sementara lupakan saja. Dan bekerjalah aku di sebuah tempat bimbingan belajar terbesar di kota ini. Bukan mengajar, melainkan sebagai tukang sapu. Apa boleh buat? Hanya ini posisi satu-satunya yang lowong.

~~~~~~

”Dul, ada kiriman beras dari emakmu,” kata Usman, kawan sebelah kamar yang juga sekampung denganku.
Aku menyambutnya dengan gembira.
”Alhamdulillah. Kapan datang, Us? Apa kabar bapak dan emak? Kamu sudah makan apa belum? Di kampung sedang musim apa? Kambingmu sudah beranak?”
Saking gembiranya aku bertanya bertubi-tubi dan acak. Usman tertawa terkekeh-kekeh. Dia meletakan begitu saja kantong gandum yang berisi beras dari kampung. Beras separuh kantong ini sungguh berarti bagiku.

Eh, tapi ...

”Aduh, Us, bagaimana ini? Aku tak bisa masak nasi. Tempo hari rice cooker itu kuloakkan, karena aku kehabisan uang dan jarang kupakai juga.” Kutepuk jidat menyadari keadaan.
”Pakai punyaku dulu. Aku belum makan juga hari ini. Kebetulan aku tadi diberi sisa bahan praktikum anak tata boga. Kita masak bersama.” Usman memberi solusi brilian.

Jadilah kami sepasang koki sore itu. Koki kepepet di tempat kost yang dapur umumnya hanya menyediakan dispenser dan tempat cuci piring. Ini tempat kost laki-laki, jadi mungkin ibu kost tidak merasa perlu menyediakan alat masak. Penghuni kost biasanya makan di warung. Atau seperti aku dan Usman, yang punya penanak nasi listrik.

Kami berdua segera mulai beraksi. Alat masaknya hanya satu: rice cooker. Menu lauknya lumayan menggoda, dilihat dari bahannya; kangkung, ikan asin, cabe, tomat, dan terasi. Sekilas sudah terbayang kami berdua duduk bersila di lantai berlapis karpet plastik sambil menyanding nasi putih panas, cah kangkung, ikan asin goreng, dan sambal terasi. Wah, sekali terbayang langsung terbit air liurku. Kami tersenyum-senyum sebelum akhirnya sadar dengan kesulitan; bagaimana menumis cah kangkungnya? Menggoreng ikan asinnya? Mengulek sambalnya?

Usman mengelus-elus janggut dengan dahi berkerut. Berpikir keras rupanya dia. Aku sudah sibuk mencuci beras, dan menanaknya. Kangkung kubersihkan, begitu pula dengan cabe, tomat, dan bahan lainnya. Biarlah tugas Usman berpikir, aku menyiapkan saja.

”Kita kukus kangkungnya,” seru Usman gembira.
”Sip!” sahutku .

Lalu kupasang panci tambahan di atas penanak. Panci yang menurut petunjuk buku manualnya adalah untuk memanaskan sayur.

”Kukus juga cabe, tomat, dan terasinya,” sambung Usman, kemudian kembali mengelus-elus janggut.

Aku makin bersemangat mengikuti petunjuk Usman dalam memasak. Aku berdoa semoga dia segera menemukan wangsit bagaimana cara menggoreng ikan asin dan mengulek sambal.

”Tidak ada minyak nih, Dul. Ikan asin dibakar saja, ya,” saran Usman.
”Baik. Jadi barbeque. Bakar di mana?” Aku celingukan mencari kompor, arang, atau apapun yang kira-kira Usman maksudkan untuk mewujudkan ide membakar ikan asin.
”Pakai setrika,” ujarnya singkat.
”Haah?!” Demi Tuhan aku tidak menyangka Usman sekreatif itu.
”Bahaya, tidak?” sambungku.
”Tenang saja. Aku pernah membakar roti dengan setrika. Aman, kok,” jawab Usman mantap.

Menyetrika ikan asin? Sungguh gila. Oh, tapi baiklah, boleh dicoba.

Usman mencolok kabel ke saklar dan membalik setrika itu serta mengganjalnya dengan beberapa buku. Sungguh brilian. Setrika terbalik menjadi tungku pembakar ikan asin. Sungguh koki istimewa kawanku yang satu ini.

Usman menata lima potong ikan asin kering di atas setrika panas. Sesekali dibaliknya menggunakan sumpit. Sebenarnya aku ingin tertawa, tapi Usman terlihat serius sekali. Aku tak ingin menyinggung perasaanya. Apalagi aku juga harus memutar otak, bagaimana caranya mengulek cabe, tomat, dan terasi menjadi sambal.

Kubuka tutup rice cooker untuk memeriksa cabe dan kawan-kawannya itu. Ah, hampir matang. Maka segera kucari pengganti cobek beserta ulekan, karena kutahu pasti tak ada di sini. Rak kecil di sudut ruangan hanya berisi dua piring, satu mangkuk, dan satu gelas. Aku tidak melihat sendok maupun garpu. Hanya ada sepasang sumpit di situ. Kaku tanganku memakai sumpit seperti orang Cina. Mungkin nanti perlu kuambil sendok di kamarku sendiri untuk makan.

Agak ragu kuambil mangkok dan sumpit. Lalu kuangkat bahan sambal ke dalam mangkok. Gerilya berlanjut ke sebelah rak. Ada besek plastik berisi botol kecap yang sudah hampir habis, dan beberapa bungkus bumbu mi instant. Bola lampu menyala di kepalaku. Ting! Aku punya ide.

”Us, ini bumbu mi sudah lama belum?” tanyaku.
”Ehmm... Mungkin semingguan. Aku cuma meremas mi-nya, dan memakannya mentah-mentah. He he he,” Usman cengar-cengir.

Segera saja kusobek bungkus bumbu mi instant, kutuangkan isinya ke dalam mangkok yang berisi cabe, tomat, dan terasi. Botol kecap kecil itu kucuci, dan kujadikan penumbuk untuk menghaluskan bahan sambal.

”Wuiih ... cerdas! Akalmu boleh juga di bidang persambalan. Gayamu seperti koboi mengulek sambal. Ha ha ha,” Usman tertawa melihatku membuat sambal.

”Kamu juga jenius, membakar ikan asin dengan setrika. Hua ha ha.” Tawaku tak kalah keras.

Seusai shalat maghrib, kami berdua duduk bersila di lantai beralas karpet plastik. Nasi di rice cooker, kangkung yang hanya dikukus, sambal yang diulek dengan gaya koboi, dan ikan asin yang disetrika terhidang dengan manisnya di hadapan mahasiswa kurang gizi ini.

Kami berdua makan dengan lahap dan penuh rasa syukur. Sesekali kami bercanda, menertawakan diri kami sendiri.

”Besok jangan lupa, itu setrika dilap bersih dulu sebelum digunakan. Jangan sampai kamu ke kampus dengan baju beraroma ikan asin, ” aku berkata sambil mencocol kangkung kukus ke sambal koboi.

Tawa kami berderai-derai. Kamar kost sempit dan kehidupan sebagai mahasiswa miskin memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Namun sungguh, kami ingin selalu gembira dalam kondisi apapun. Bapakku dulu pernah memberi petuah:
”Jaga hatimu untuk tetap gembira ketika keadaan sulit. Dengan begitu, niscaya kamu tidak akan mudah terlena ketika keadaan menjadi mudah”

Ya, aku meyakininya. Mungkin justru keterbatasan seperti inilah yang kelak akan membuatku rindu dan terkenang selalu suatu saat nanti. Karena di sinilah keringat, doa, dan perjuanganku benar-benar terasakan.

~~~~

Cerpen ini telah dibaca pada Siaran Bilik Sastra VOI RRI.