Saturday, January 18, 2014

LAKI-LAKI YANG PATAH HATI

Laki-laki yang patah hati
Ia sibuk memberengus rindu
Menganggap punggung itu tak pernah berlalu
Semu

Laki-laki yang patah hati
Terperangkap sedu sedan yang diam
Tak bersuara tapi begitu luka

Laki-laki yang patah hati
Selalu tertawa HAHAHA
Karena ia laki-laki
Yang sedang patah hati

(jojo, januari 2014)

IKAT ’DIA’ YANG LIAR BETERBANGAN, DENGAN MEMBUAT KERANGKA

Terbukti sekali lagi, bahwa ikut KOL FLP itu tidak ada ruginya. Ilmunya itu, lho ... Berguna sekali. Dan lagi-lagi, berhasil mengubah aku yang masih amburadul dalam menulis, menjadi lebih ’terkendali’.

Jumat, 17 Januari 2014,  pemateri kedua, yaitu mas S Gegge Mappangewa mengajak murid-murid belajar tentang MENYUSUN KERANGKA DAN MENULISKANNYA. Uraian yang disampaikan pemateri sangat jelas. Disertai contoh cerpen yang ’gurih’ pula ^_^. Dan yang membuatku senang, ternyata mbak Julie Nava sudah posting materi pelajaran ini dari Jumat siang waktu Taiwan. Wuah, asyiknya ... Aku jadi punya waktu lebih banyak untuk membaca (dan membaca ulang berkali-kali) materi yang mengasyikan ini.

Ketika sesi pertanyaan tiba, lagi-lagi aku hanya menyimak. Eh, tapi bukan berarti aku tidak memperhatikan lho ... Kebetulan, pertanyaan yang menggumpal di kepalaku sudah terwakilkan oleh murid yang lain. Lagi pula mas Gegge juga menjawabnya dengan sangat jelas. Jadi meski aku pasif, ilmunya tetap aktif masuk ke otak.

Selepas belajar soal kerangka ini, aku segera bergerak membuka catatan lama, kumpulan tulisan-tulisan lamaku yang sebagian besar terhenti di tengah jalan. Bahkan ada yang baru mulai, sudah buntu. Fyuh! Melihat tumpukan tulisan ini aku terpaksa harus menepuk jidatku sendiri. Beginilah kalau ide dibiarkan liar beterbangan tanpa diikat dan dipelihara. Menguap sudah, sulit dilihat lagi bentuknya.

Kembali pada pelajaran, aku coba aplikasikan ilmu tularan dari mas Gegge untuk ’menyelamatkan’ tulisan-tulisan lamaku. Ketika aku mempraktekan membuat kerangka cerita dari masing-masing tulisan setengah jadi itu, ternyata hasilnya menakjubkan (ehm, maksudnya, aku sendiri yang takjub, betapa berantakannya aku selama ini).

Sampai ketika aku menulis opini ini (eh, lagi-lagi bukan reportase, duh!), sudah ada tiga cerpen setengah jadi yang akhirnya mulai terlihat jelas bentuknya, alur ceritanya, sekaligus kelemahannya. Mungkin aku bukan type penulis yang akan 100% patuh pada kerangka, meski itu aku sendiri yang membuatnya. Namun dengan menyusun dan menulis dalam bentuk kerangka, ide yang beterbangan dapat ditangkap dan diwujudkan. Ide yang berharga itu tidak akan hilang percuma.(Erin Cipta)
(Sumber gambar: FB Kelas D KOL MILAD 17 FLP, dan GOOGLE SEARCH)

Thursday, January 16, 2014

KOL FLP, Ide, dan Rewards Beraneka Warna Yang Tak Terduga

Tahun baru ini banyak sekali hal yang juga baru, datang di keseharianku. Nah, sepertinya ada yang perlu kutulis sebagai reportase. Eh, tapi ternyata aku bukan reporter yang baik, sehingga tulisan panjang lebar itu terbaca aneh dan memalukan. Ya sudah, sekarang kuputuskan untuk menulis bebas, tapi terkendali ^_^

Semua cerita ini terjadi gara-gara aku bergabung dengan FLP Taiwan. Meski dari dulu aku suka menulis, namun aku termasuk penulis ”angot-angotan” alias kambuhan, moody. Nah, di FLP inilah aku berlatih untuk menulis secara teratur dan (tentu) benar. Dapur Sastra yang digulirkan setiap minggu membuatku ‘terpaksa’ terus menulis. Kemudian lomba menulis cerpen bulanan yang bekerja sama dengan tabloid berbahasa Indonesia IndosuarA juga terlalu sayang untuk dibiarkan lewat begitu saja.

Ketika ketua FLP Taiwan, Kuan Ami, mengumumkan akan ada kelas menulis online yang diadakan oleh FLP Pusat, aku langsung mendaftar tanpa BABIBU. Pokoknya ikut! Demi bisa belajar menulis dengan baik dan benar. Terdaftarlah aku di Kelas D, KOL Milad 17 FLP Zona 7 dan 8 yang menampung murid-murid dari cabang FLP di luar negeri. Wah, rasanya seperti masuk Kelas Internasional. Apalagi ketika satu-persatu mentor hebat diperkenalkan. Dan tiba-tiba saja aku bersemangat sekali add friend list Facebook teman-teman sekelas dari berbagai negara itu. Kupikir semangat ini bukan hanya miliku seorang, karena aku pun dibanjiri permintaan pertemanan dari beberapa murid sekelas itu. Senangnya ... ^_^

Ini dia panitia yang bertugas di Kelas D:
1. Kep Kol : Koko Nata
2. Miss Kol : Julie Nava & Rihanu Alifa
3. Mr Kol : Irja Nasrulloh
4. Jeng Kol : Nunu El-fasa & Wiwiek Sulistyowati
5. Glu Kol :Topik Mulyana
6. BPP FLP lainnya yang tidak ingin disebutkan namanya

Duh, istilah-istilah yang dipakai untuk menyebut panitianya juga lucu. Membuatku semakin senang belajar di kelas ini.

Pada Jumat, 10 Januari 2014, pukul 21:00 waktu Taiwan, dimulailah kelas pertama yng dipandu oleh penulis banyak buku-buku bermutu, Afifah Afra, alias Yeni Mulati Ahmad dengan materi; Menangkap, Merawat, dan Membesarkan ide.

Materi disampaikan dengan bahasa simpel yang mudah dipahami olehku. Meski aku sedikit terlambat masuk kelas kala itu (karena kakek, pasien yang kurawat belum tidur) namun aku masih bisa mengikutinya dengan baik. Signal internet juga sedang sangat bersahabat. :)

Sesi pertanyaan berlangsung seru dan aktif. Aku tidak bertanya memang, karena pertanyaanku sudah terwakilkan oleh orang lain. Kupetik pelajaran dari jawaban mentor yang tuntas tas tas ...

Tibalah waktu tugas. Miss Kol Julie Nava memberikan tugas sebagai berikut:
‪#‎TugasPertemuan1‬. TIGA PARAGRAF
Cobalah pergi ke toko, warung, atau restoran, tuliskanlah hasil pengamatan di sana.
Dalam satu paragraf, uraikan wajah dan perilaku seseorang yang datang sendirian untuk membeli sesuatu. Pada paragraf lainnya, uraikan wajah dan interaksi yang terjadi antara dua orang tamu/pembeli/konsumen. Untuk paragraf ketiga, uraikan cara seorang pelayan atau penjaga toko berkomunikasi dengan pembeli.
Silakan tulis/posting hasil pengamatan tersebut pada kotak komentar di bawah ini. Tugas paling lambat dikirim/posting pada H-2 pertemuan berikutnya.

Aih, ini malam hari. Aku tak mungkin keluar rumah. Apalagi Taiwan sedang musim dingin begini. Pun siang hari, belum tentu aku bisa ke toko, warung atau restoran seperti yang ditugaskan itu. Karena lokasi kerjaku di pegunungan, jauh dari toko. Untung saja Miss Kol Julie Nava memperbolehkan murid-murid menulis dari imajinasi. Tidak harus melakukan pengamatan yang sebenar-benarnya. Maka malam itu juga aku langsung mengerjakan tugas tersebut.

Inilah yang kutulis;
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
#Tugas Pertemuan1: Tiga Paragraf
Mungkin usianya masih dua puluh, atau bahkan kurang. Rautnya masih kekanakan, namun tanda-tanda sex sekundernya sudah jelas terlihat. Kumis tipis dan jakun yang sudah tumbuh sempurna. Dan yang paling menarik perhatianku adalah sorot matanya: bergairah namun malu-malu. Seperti mata jejaka yang mencuri pandang gadis pujaan namun ketahuan.

Sebetulnya dia datang lebih dulu, berdiri rapat di etalase dengan deretan botol obat yang berdesakan di dalamnya. Tapi ketika ada seseorang datang, dan tampaknya saling kenal, dia mundur sambil tersenyum. Keduanya lantas bercakap basa basi, tertawa kecil, dan saling menepuk pundak. Akhirnya pembeli kedua yang mendapatkan barang terlebih dulu dari sang pelayan di balik etalase kaca.

Hari memang sudah mulai malam. Pekerjaannya sebagai pelayan toko obat sepi mungkin membuatnya bosan. Dia melayani pembeli dengan ekspresi muka datar, tanpa senyuman. Hanya tangannya yang sangat cekatan meraih obat, kemudian membungkus sambil menerangkan aturan pakainya.
”Cari apa, Mas?” tanya sang pelayan datar.
”Ehm ... Kondom,” jawab pemuda dua puluhan itu pelan seperti tercekik.
Sang pelayan tersenyum tipis. Lalu mengeluarkan beberapa kotak warna-warni untuk dipilih sang pembeli.

*)toko obat di kota kecil Sampang, 2 tahun yang lalu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Karena tugas ini dikumpulkan di kolom komentar, maka aku juga bisa.membaca tugas-tugas tulisan murid yang lain. Wuuah.... Ini kelas D(unia). Jadi cerita tentang toko, warung, dan restoran saja sudah menyajikan banyak sekali warna. Cerita-cerita dari berbagai belahan dunia yang membuatku merasa seperti berpetualang meski hanya membuka jendela.

Esok harinya, tanpa kusangka, di grup FLP Taiwan aku juga menjadi pemenang untuk Dapur Sastra minggu pertama dalan tema ”HARAPAN”.Tulisanku yang berjudul ”MAK DUNAL” mendapat suara terbanyak dalam voting. Maka sebagai hadiahnya, aku berhak melemparkan menu Dapur Sastra berikutnya.

Kebetulan sekali, nih. Aku sedang hangat-hangatnya belajar materi dari Mbak Afifah Afra di KOL. Maka segera kuamalkan ilmu yag masih hangat itu. ^_^  Kujaring ide-ide yang beterbangan liar di kepalaku, lalu kurawat dan kubesarkan dengan memperbanyak bacaan dan latihan. Selanjutnya langsung kutuangkan dalam menentukan menu Dapur Sastra.

Selama ini tema-tema di Dapur Sastra adalah tema yang luas dan jamak. Aku ingin mengerucutkanya menjadi tema yang spesifik. Maka kutentukan temanya adalah ”KONDANGAN”. Kupersilakan anggota FLP Taiwan untuk menulis Flash Fiction dengan tema tersebut. Selain melempar menu, aku juga harus menulis contoh FFnya.

Nah, ini yang kutulis di Dapur Sastra;
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
TEMPE MUMET, TEMPE BENJUT

Erin Cipta

Agus memandangi makanan di atas meja. Mukanya masih kumal karena baru saja bangun dan belum sempat mencuci muka. Badannya yang kurus hanya dibalut celana kolor dan kaos oblong.

”Mak, cuma ini sarapannya?” tanya Agus malas-malasan.

Perempuan paruh baya yang dipanggilnya emak itu sedang sibuk membungkus bakul bambu dengan taplak kumal.

”Di warung tidak ada sayuran. Emak cuma masak nasi dan goreng tempe oleh-oleh kondangan kemarin,” sahut sang ibu.

Agus tidak langsung makan. Dia menghampiri ibunya dan melongok isi bakul bambu yang tadi dibungkus itu.

”Emak mau kondangan kemana? Cuma beras dan tempe?” tanya Agus.

”Kondangan ke bu Larmi, pinggir kali. Mantu anaknya yang bontot. Aih, beras dan tempe juga sudah lumayan. Bulan begini kondangan banyak sekali, pusing emak. Ini juga tempe yang emak kumpulkan dari oleh-oleh kondangan tempat lain,” terang sang ibu panjang lebar.

”Tempe mumet,” rutuk Agus sambil beranjak ke sumur.

Sekarang memang waktunya banyak orang punya hajat. Menikahkan atau menyunatkan anak-anaknya. Sungguh bulan yang membuat pusing orang desa yang sehari-hari hidupnya pas-pasan. Kondangan bagi mereka seperti kewajiban, karena tradisi dan etika pergaulan.

Namun ibu Agus punya cara yang sedikit meringankan beban kondangan itu. Cara yang juga dipakai banyak ibu-ibu lainnya. Beliau akan mengumpulkan oleh-oleh kondangan yang berupa tempe mentah berbungkus daun, biasanya berjumlah sekitar 10 bungkus, lalu menggabungkannya dengan tempe dari kondanan yang lainnya lagi sampai berjumlah sekitar 30, kemudian memakainya untuk kondangan berikutnya. Beliau hanya perlu modal beras. Cara ini membuat tempe-tempe itu hanya berputar-putar saja dari hajatan yang satu ke hajatan yang lain. Itulah mengapa Agus menyebutnya ”tempe mumet” alias tempe pusing.

******

Selesai mandi di sumur, masih dengan handuk tersampir di pundak, Agus langsung duduk di kursi dan menyendok nasi. Sang ibu sudah tidak di situ lagi.

Ketika mencomot tempe di piring lauk dan hendak memakannya, Agus berhenti dan mengamati tempe itu. Bentuknya tidak keruan. Benjol sana benjol sini. Tempe bungkus daun seharusnya berbentuk segi tiga atau segi empat yang rapi. Tapi ini seperti potongan batu meteor yang tidak beraturan.

Agus menggigit tempe itu. Agak asam rasanya, mungkin terlalu matang.

”Tempe benjut,” gumam Agus.

Ini juga efek dari tempe ’mumet’ sebelumnya. Rupanya kebiasaan para ibu di desa sama saja. Tempe-tempe kondangan itu sebagian akan dimasak untuk lauk. Dan karena bungkus daun tidak tembus pandang, mereka mengecek kematangan tempe dengan cara menekannya. Rupanya karena terlalu banyak tangan yang menekan, tempe itu jadi tidak keruan bentuknya di dalam. Benar-benar ’benjut’ atau memar.

Taipei, 13 Januari 2014
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dan selama hampir seminggu ini, ketika para FLPers menulis FFnya di Dapur Sastra, aku merasa sangat takjub. Lontaran ideku memberi tema ’kondangan’ berbuah berbagai cerita tentang tradisi yang beraneka rupa dari berbagai daerah. Ternyata wajah ’kondangan’ mempunyai banyak sekali warna.

Bertambah lagi ilmuku dengan akselerasi yang tak kuduga. Makin bersemangatlah penulis amatir yang ’angot-angotan’ ini. Rasanya tak sabar menunggu kelas berikutnya. Semoga signal internet akan bersahabat seperti minggu lalu, dan pasien yang kurawat juga lekas beristirahat. Hingga aku tak perlu lagi terlambat.

Saturday, January 11, 2014

MAK DUNAL

Otong selalu menoleh ke seberang jalan itu setiap pagi. Toko berwarna merah-kuning itu sangat menarik perhatiannya. Jendela dan pintu dari kaca besar-besar, membuat semua yang ada di dalam terlihat jelas dari luar.
”Pulang nanti aku akan mampir kesana,” gumamnya pelan.

Langkah kaki kecilnya begitu ringan menyusuri jalan beton kota yang panas. Sandal gabus warna hijau berbentuk kepala kodok membungkus telapaknya. Otong hanya berkaus oblong dan bercelana pendek. Sebuah kecrekan dari tutup botol bekas selalu bergoyang nenimbulkan suara gemerincing yang parau. Otong mengamen di simpang jalan yang selalu macet. Berlarian dari satu pintu mobil ke pintu mobil yang lain menyanyi tak jelas, menyodorkan kantong mengilap bekas bungkus makanan ringan, mengharap receh dari pengendara mobil yang kasihan, atau bahkan risi dengan dirinya.

Meski lagu-lagunya tak jelas, namun Otong selalu menyanyi dengan gembira dan penuh semangat. Ah, itu karena terpompa oleh keinginannya memperoleh receh lebih, demi membeli setangkup roti bundar berisi daging dan tomat yang selalu dilihatnya di balik kaca besar toko merah-kuning itu.

”Dapet banyak, Tong?” tanya Riko, pengasong minuman yang mengais rejeki di simpang jalan itu juga.

”Biasa aja, Bang. Ini baru cukup buat beli beras, sama obat buat emak,” sahut Otong yang sedang menghitung isi kantong.

”Udah banyak, tuh. Pulang, gih. Mau hujan,”

”Entar dulu, Bang. Mau cari dikit lagi buat nambahin simpenan kemarin. Pengin beli Mak Dunal,”

”Apaan, Mak Dunal?”

”Roti isi daging yang dijual toko itu. Toko yang di depannya ada patung badut duduk di kursi,”

”Ooo ... Mc. Donald,”

”Ho oh,”

Otong beranjak lagi setelah memasukan receh ke kantong celana pendeknya yang mengembung.

Kemacetan makin parah. Banyak orang menggerutu, bahkan ada yang mengumpat-umpat. Sungguh macet yang menyusahkan.

Namun bagi Otong, macet adalah harapan. Semakin macet, kesempatannya memperoleh receh semakin besar. Dan roti bundar berisi daging yang disebutnya Mak Dunal semakin mungkin teraih dari mimpinya. Otong terus berlarian dari satu pintu mobil ke pintu mobil yang lain, menyanyi tak jelas dengan kecrekan tutup botol yang bergemerincing parau.

~~oOo~~

Image by Google search